BLANTERORBITv102

    Setelah Tiga Windu

    Sabtu, 15 Januari 2022

    Cerpen Setelah Tiga Windu

    Oleh : Lidwina Ro

    Aku sebenarnya selalu diam-diam menyimak setiap kali orang-orang membicarakanku. Entah dengan berbisik-bisik, atau secara terang-terangan. Tidak ada bedanya. Meskipun aku mendengar, paling-paling aku tidak akan merespon. Aku selalu diam. Hanya menatap mereka dengan pikiran setengah kosong. Bukan karena aku tidak punya hati. Bukan pula karena aku tidak penasaran. Akan tetapi karena aku memang tidak mampu berpikir lebih jauh. Dan selalu berhasil membujuk diriku sendiri untuk selalu percaya bahwa sebenarnya aku baik-baik saja.

    Menurut apa yang samar-samar kudengar, mereka bilang ibuku meninggal sesaat setelah melahirkan aku. Penyebabnya karena Ibu mengalami pendarahan hebat. Aku sering merasa bersalah karena hal itu. Dan lebih merasa bersalah lagi saat aku ingat, tidak sempat melihat wajah wanita yang mengorbankan nyawanya demi aku.

    Berarti aku adalah anak yang kelima, karena kakakku ternyata sudah ada empat. Lelaki semua. Bapakku yang hanya buruh tani kecil itu sudah tentu mempunyai beban dan kesulitan sendiri. Pasti akan berat jika harus merawat anak satu lagi, yaitu aku. Bisa kubayangkan, alangkah canggung, bingung, dan repotnya Bapak nanti, kalau harus membagi waktu untuk bekerja di sawah orang dan mengurus anak-anaknya sendirian tanpa pendamping.

    Jadi menurut gunjingan tetangga, Bapak akhirnya memberanikan diri menyerahkan aku pada Bu Bidan yang menolong persalinan ibuku. Menyerahkan, bukan menitipkan. Anak pungut Bu Bidan. Nah, itu adalah salah satu perkataan tetangga yang sering aku dengar, saat Bu Bidan sedang bersamaku. Entah sedang menggendongku, sedang menyuapiku, menemaniku bermain di halaman, atau sedang membawaku berbelanja ke pasar. Jadi aku selalu menjadi bahan perbincangan orang kampung di mana-mana. Intinya, aku adalah anak yang beruntung karena dipungut Bu Bidan.

    Baiklah, pasti Bapak terpaksa menyerahkanku, karena Ibu sudah meninggal, dan masih ada empat kakakku yang perlu biaya banyak. Aku rasa Bapak tidak sepenuhnya bersalah.

    Untunglah Bu Bidan masih punya rasa belas kasihan. Entah beliau berhati emas atau memang beliau adalah malaikat tak bersayap dari surga. Yang aku tahu, aku sangat bahagia bisa menjadi bagian keluarga Bu Bidan. Meskipun beliau sudah mempunyai tujuh anak, tidak disangka, masih saja mau menerima bayi orang asing. Lebih tepatnya, bayi dari orang yang tidak diketahui benar asal usulnya. Hebatnya lagi beliau menjadikan aku sebagai anak bungsu secara hukum. Ya, aku diadopsi dengan resmi oleh Ayah, sebutanku pada suami Bu Bidan, seorang pensiunan perwira menengah TNI yang gagah dan berwibawa. Aku bahkan dimanja dan selalu menjadi pusat perhatian kakak-kakakku, meskipun aku berbeda dengan mereka. Untung mereka semua menyayangiku. Bahkan mereka sering berebut untuk menggendongku. Aku seperti mainan kecil langka yang disayang.

    Bapak kandungku sebenarnya tinggal di kampung sebelah. Miris, tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya sejak menyerahkanku pada Bu Bidan. Entah rasa kebapakannya telah luntur, entah situasi yang tidak mengizinkan. Mungkin juga tidak tega untuk melihatku kembali. Atau bisa jadi terlalu sibuk menghidupi keempat kakakku sehingga tidak punya waktu lagi untuk mampir walau sebentar ke tempat praktek Bu Bidan. Bapak harusnya menengok sekali-kali. Masa sih tidak merindukanku sama sekali? Bukankah aku ada karena hasil perbuatan Bapak juga?

    Tapi sudahlah. Tidak apa-apa. Sewindu telah berlalu, aku masih baik-baik saja. Aku juga tidak begitu merindukannya. Bahkan aku sudah mulai lupa pada wajah Bapak, yang perlahan-lahan mulai memudar dalam bingkai ingatanku.

    Aku pun juga sudah bahagia dan puas di rumah baruku. Rumah Bu Bidan termasuk luas. Kamarnya saja ada tujuh buah. Dan ada tambahan dua kamar lagi untuk pasien, terletak paling depan. Namanya kamar bersalin.

    Bu Bidan, yang sekarang sudah kupanggil ‘ibu’ itu sering menolong wanita-wanita melahirkan bayi. Ibuku adalah bidan generasi pertama di kampung, wanita pemberani yang menggeser kedudukan dukun bayi di kampung yang sering tidak sempurna dan tidak higienis dalam melakukan persalinan karena tidak dibekali oleh ilmu medis yang benar. Terkadang Ibu rela melakukan perjalanan jauh ke kampung-kampung sebelah demi menolong wanita yang kesulitan melahirkan. Ayahku yang gagah, selalu setia mengantar Ibu.

    Aku selalu takut bila Ibu pergi di malam hari karena panggilan mendadak untuk persalinan. Meskipun banyak kakak yang menjagaku, aku selalu ingin berada di sisi Ibu.

    Mungkin hanya Ibu yang mengerti aku. Ketika aku terlalu lama tak bisa mengeja kata atau lama berjalan, Ibu tetap menyayangiku. Bahkan ketika aku mendapat nilai ‘satu’ untuk menulis angka, Ibu tidak marah. Dia malah tertawa dan memelukku erat. Ibu memangku dan tak pernah lelah mengajariku menulis angka satu sampai sepuluh. Tetapi tetap saja keesokan harinya, aku kembali dengan rasa tak bersalah, malah bangga pamer pada Ibu, nilai hasil sekolahku yang masih sama. Satu.

    Beruntung guru SD di kampung bersedia menerima saat Ibu menitipkan aku di kelas. Walaupun nilaiku selalu satu, seperti biasa Ibu selalu tertawa kecil, lalu memelukku. Aku sendiri tidak mengerti apa saja isi otakku. Mengapa otakku sulit mengingat apa saja. Baik bentuk huruf atau bentuk angka. Berkali-kali aku mencoba mengerti dan mengingat-ingat latihan menulis di sekolah. Tetapi mengapa semua tak bisa kusimpan dengan benar dalam otakku? Lalu baru aku mengerti ketika salah satu kakakku tertawa gelak. Katanya aku hanya mampu menulis garis lurus kecil-kecil berjajar seperti pagar yang nyaris roboh di atas buku tulisku. Oh, tak heran jika nilaiku selalu ‘satu’.

    Dua windu berjalan tanpa terasa. Aku masih saja tidak bisa mengenali angka -kecuali angka satu- atau menulis huruf. Ketika Ibu meninggal karena serangan jantung mendadak, aku merasa dunia seperti runtuh menimpa kepalaku. Tetapi aku tidak bisa menangis. Entah mengapa aku terlahir seperti ini. Seperti biasa aku diam dengan pikiran setengah kosong. Tak tahu cara memberontak, meskipun ingin. Tak bisa berteriak walau mulutku sudah menganga. Meskipun hatiku meronta-ronta ingin masuk dalam liang kubur Ibu, ternyata aku tidak mampu bergerak sedikit pun. Hatiku terlalu hancur, sampai tidak ingin bicara pada siapa-siapa. Rasanya aku ingin diam untuk selamanya. Bahkan aku sempat kesal kepada Tuhan. Karena mengambil dengan cepat, orang yang sangat mencintaiku apa adanya. Aku tidak merasa lagi istimewa sejak Ibu pergi ke surga.

    Hanya selang setahun, ayahku tumbang dalam kesedihan yang dalam. Ayah menyusul Ibu. Rupanya segagah-gagahnya Ayah, tetap tidak bisa hidup tanpa Ibu. Lengkap sudah kesalku pada Tuhan. Aku benar-benar tidak ingin bicara pada siapa-siapa. Aku marah entah pada siapa. Aku tidak ingin makan. Dan aku juga tidak ingin belajar apa-apa lagi. Aku benar-benar kehilangan.

    Di antara tujuh kakakku, ternyata kakak keenam, bersedia merawat dan membawaku pergi, tinggal bersama mereka di kota. Meskipun mereka merawatku dengan baik dan sepenuh hati, aku tetap merindukan rumah di kampung, senyum, dan tawa Ibu. Aku selalu ingin pulang, jika boleh ingin kembali memutar waktu. Ingin merasakan belaian dan kecupan sayang dari Ibu sekali lagi, meskipun aku bukan anak kecil lagi.

    Tidak kuingkari, kebaikan kakak keenam selalu mengingatkanku kembali pada sosok Ibu. Seperti yang aku duga sebelumnya, tetangga kakak keenam, selalu berbisik-bisik membicarakanku sejak kedatanganku. Mata mereka selalu menatap aneh padaku. Memaksa dan menggiring ingatan pada tatapan orang-orang di kampung asalku.

    Apalagi bila salah satu tetangga itu bertamu di rumah Kakak dengan membawa anak kecil. Pasti anak itu menangis ketakutan melihatku. Semakin aku mendekat dengan maksud akan menenangkan, semakin keras tangisnya pecah. Membuat aku gugup dan jadi salah tingkah. Padahal aku tidak melakukan hal yang salah. Wajahkulah yang salah!

    Banyak reaksi yang sudah aku terima dari orang-orang itu. Menjauhkan anak mereka dariku. Memunggungiku. Seolah aku seperti virus yang berbahaya. Banyak yang menggoda. Juga banyak yang meledek, dan merendahkanku.

    Selalu begitu cara mereka memandang dan memperlakukan aku. Tidak pernah berubah, meskipun aku bukan seorang anak kecil lagi.

    Maka semakin bertumpuk kekesalanku pada Tuhan. Tidak juga memahami apa maksud-Nya, mengapa membuatku terperangkap pada situasi seperti ini. Memberi wajah seperti ini. Memberi kemampuan serendah ini. Yang paling menyakitkan, memberi kebahagiaan sesingkat ini.

    Meskipun di dalam hati aku meraung, menangis memanggil Ibu, merindukan Ibu, di luar aku tidak mampu mengekspresikan hatiku. Wajahku akan terlihat datar, menatap ke depan dengan pikiran setengah kosong.

    “Ih, siapa dia? Mengapa wajahnya aneh seperti itu?”

    “Namanya Hari. Dia idiot, tahu!”

    Huss! Yang bener sebutnya tunagrahita. Anak yang mengalami keterbatasan mental dari lahir. Bukan idiot!”

    “Halah, sama saja. Jangan ajak dia bicara. Dia gagap, sulit bicara dan daya pikirnya rendah. Nanti kamu bingung sendiri kalau mengajaknya bicara.”

    “Dia adik Bu Nana dari kampung. Sudah lama tinggal di sini. Kasihan. Dia itu kan abnormal.”

    Selalu begitu isi pembicaraan mereka. Kurang lebih hampir sama. Bahkan setelah tiga windu lebih kulalui, aku masih tetap berada dalam tubuh dan jiwa yang seperti anak kecil. Masih sama seperti yang dulu. Terperangkap dalam satu karya milik Tuhan, di mana aku sendiri belum paham dengan benar cetak biru-Nya, yang harus aku jalani. Seumur hidupku.

    Lidwina Ro, pendatang baru dunia literasi yang suka membaca apa saja. Lahir dan sekolah di Malang. Tinggal di Bekasi. Anggota ODOP batch 9. Nama di FB : Lidwina Rohani, IG : lidwina_ro Email : lidwinalieke@gmail.com


    1. Kalimatnya ngebuat untuk membaca, membaca dan membaca terus, hingga di pertengahan mulai bisa ditebak, kisah ini menceritakan seseorang yang mengalami tunagrahita. Keren.

      BalasHapus