BLANTERORBITv102

    Kamar Mandi Mertua

    Rabu, 01 Mei 2019

    Oleh: Mabruroh Qosim

    Mataku tak pernah menipu. Walau dalam remang, ia memberitahu otakku bahwa sosok perempuan yang tengah mengendap-endap itu adalah Sari. Aku mengenal Sari sebaik aku mengenali setiap sisi kamar mandi mertuaku, sebuah tempat yang tidak kusukai. Selain sempit, ubinnya banyak yang telah terlepas dan diganti dengan plester semen yang digarap sekadarnya. Dinding yang semula putih sekarang penuh bercak noda coklat kehitaman. Penerangan hanya dari bohlam sepuluh watt, tidak cukup benderang melawan rimbun kebun yang terhampar di hadapannya. Herannya, meskipun sering kubersihkan, laba-laba selalu saja datang menganyam sarang di langit-langit.

    Perempuan yang mengendap endap itu, tidak mudah mengabaikan sosok sepertinya. Tidak hanya cantik, dia tinggi besar dengan rambut hitam panjang yang terawat. Orang tuanya kaya, sanggup menghidupinya dengan layak seandainya dia bersuamikan lelaki miskin sekalipun. Sayang, Sari anti kemapanan dan pendek pikir. Selepas SMA, tak mau dikuliahkan karena malas berpikir, dinikahkan pun tak sudi. Sari menolak dinikahkan dengan pemilik toko bangunan, anak kolega bapaknya, dan memilih memacari para lelaki yang menurut bapaknya hanya akan menumpang hidup. Kelebihan mereka hanya wajah tampan dengan badan kekar, serasi untuk Sari yang menawan. Namun, kata orang belakangan ini dia menjomblo dan menganggur, tetapi kuyakin kamar mandinya menyimpan banyak rahasianya yang tidak kami ketahui.

    Pagi itu hari belum dimulai, bahkan ayam-ayam masih terlelap. Aku baru saja masuk rumah melalui pintu belakang setelah buang air kecil di kamar mandi. Tak lama setelah itu, terdengar suara gesekan daun yang sengaja disibakkan. Aku menajamkan pendengaran dan mengintip dari balik gorden. Saat itulah kulihat sosok Sari mengendap-endap di antara rimbun pohon singkong. Satu tangannya memeluk sebuah benda yang sepertinya sebuah kotak kardus. Kemudian, samar kulihat dia berjongkok dan meletakkan benda itu di tanah. Setelah itu, dia bergegas pergi.

    Ingin kudekati benda itu, namun hatiku menolak. Kalau ternyata dia menaruh barang curian, aku akan mendapat masalah. Para tetangga sering menggunjing Sari, katanya dia sering kedapatan mengambil perhiasan ibunya untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Jadi, kuputuskan untuk mengacuhkan benda itu dan kembali tidur.

    Pukul lima pagi, seisi kampung geger oleh penemuan bayi dalam kardus yang ditemukan di belakang rumah mertuaku. Ibu mertua yang menemukannya ketika dia hendak ke kamar mandi. Katanya bayi itu menangis kencang, mungkin karena kedinginan. Rupanya benda yang ditinggalkan Sari itu seorang bayi dan bukan barang curian dari rumah ibunya. Sungguh mengherankan, perempuan yang hamil di luar nikah begitu piawai menutupi perut buncitnya, bahkan tak merasakan kesakitan dan kepayahan saat melahirkan. Jangan-jangan rasa takut ketahuan mengalahkan rasa sakitnya.

    Aku tak sempat melihat bayi itu karena ibu mertua dengan sigap membawanya ke rumah Pak RT. Lagipula, aku tidak tertarik dengan penemuan bayi, toh sehari-hari aku sudah cukup lelah dengan bayiku sendiri. Aku yakin bayi itu lahir dari hubungan terlarang sebab Sari tidak bersuami. Bagiku, melihat bayi yang dibuang orang tuanya hanya menyisakan miris, betapa menyedihkan ironi manusia di jaman akhir ini. Belum lagi perasaan dipecundangi karena ada yang berbuat tak senonoh di belakang punggung orang sekampung.

    Seketika aku teringat kamar mandi. Ia tempat kita membuang noda dan kotoran dan semua hal yang menjijikkan. Kurasa itulah sebabnya mengapa tempat itu senantiasa kotor meskipun sering dibersihkan. Apalagi, dindingnya menanggung banyak rahasia. Kita membagi rahasia pada dinding kamar mandi tentang segala yang ingin disembunyikan dari mata manusia lain. Waktu kecil aku suka makan jatah adikku di kamar mandi dan menuduh kucing yang melakukannya. Ibuku sering masuk kamar mandi dalam keadaan marah setelah bertengkar dengan ayah dan keluar dengan mata sembab setelahnya. Kakakku sepertinya membagi banyak rahasia soal sabun-sabun yang terlalu cepat menipis.

    Di televisi sering kulihat kasus anak sekolah yang hamil oleh pacarnya. Setelah ditanyai, mereka mengaku melakukannya di kamar mandi sekolah. Bagi sepasang kekasih yang tak tahan dibuai cinta, mereka sanggup bercinta di mana pun, bahkan di ruangan sempit dan bau itu. Hal itu semata-mata karena tempat itulah yang paling tersembunyi, apalagi setelahnya mereka bisa menyiram noda dan dosa dengan bergayung air. Kemudian, mereka keluar dari sana dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa.

    Kamar mandi mertuaku pun rupanya cukup aman untuk menyimpan rahasia percintaan dua sejoli yang mabuk cinta. Mataku tak pernah menipu, dua kali aku melihat dua orang lelaki perempuan masuk kamar mandi mertuaku. Sungguh hanya Tuhan dan dinding kamar mandi itu yang tahu apa yang mereka lakukan di dalamnya. Apa yang mungkin dilakukan dua orang yang berada jenis kelamin di dalam kamar mandi yang sepi, gelap, dan tersembunyi? Jika mereka tidak ada urusan yang sangat dirahasiakan, mengapa mereka tidak bertemu di ruang tamu atau di halaman rumah saja?

    Kamar mandi mertuaku terpisah dari rumah utama dan terhalang oleh kebun singkong setinggi manusia. Entah mengapa dibuat terpisah demikian, aku pun enggan menanyakan. Selepas pukul tujuh malam kami sudah tidak berani buang hajat ke sana. Makin malam, makin gelap dan mencekam. Hanya setan yang berkeliaran di sana, tentu saja karena mereka lah yang menakuti kami. Kalau ada manusia yang berani ke sana, tentu karena sangat terpaksa. Biasanya kami baru akan ke kamar mandi menjelang Subuh. Ibuku bilang, pada masa itu setan-setan sudah pergi dan digantikan oleh malaikat.

    Pukul delapan pagi, ibu mertuaku datang dengan tersaruk-saruk. Ia bahkan belum sempat sarapan sejak menemukan bayi itu. Naluri keibuannya rupanya tersentuh sehingga ia dengan penuh kasih mau bersusah payah mengurus bayi malang itu.

    "Bagaimana, Bu, apa ibunya sudah ditemukan?" tanyaku sambil mengambilkannya minum.

    "Belum. Seandainya tidak ketemu pun banyak orang yang ingin mengadopsi," jawab Ibu sambil menenggak air. Tampaknya ia begitu kelelahan setelah mengurus bayi itu. Padahal, dia jarang bermurah hati membantu mengurus anakku. Sama saja dengan kelakuan Marbun, suamiku, jarang sekali membantu sekadar menjaga anaknya. Tiga bulan sekali bertemu dengan sang buah hati tidak lantas membuatnya ingin menuntaskan rindu. Ia lebih senang berkumpul dengan teman di warung kopi yang makin melenakan dengan fasilitas wifi gratis.

    Mungkin seorang anak, meskipun lelaki, terlalu cepat bagi Marbun. Ia masih butuh waktu untuk menerimaku sebagai istri yang terpaksa dinikahinya oleh sebab hutang budi ayahnya terhadap kakekku di masa lalu. Konon, kakek menerima dan memperlakukan keluarga ayah Marbun dengan sangat baik saat mereka mengungsi ke Batu ketika Jepang menduduki Surabaya. Sejak saat itu mereka saling menganggap saudara hingga berlanjut ke anak cucu. Ketika ada dua perawan dan bujang yang masih sendiri, mereka pikir akan mengeratkan hubungan kekerabatan jika dikawinkan. Sebenarnya aku tidak punya perasaan apapun terhadap Marbun, hanya saja aku ingin menuruti orang tuaku. Aku yang menganggur setelah lulus SMA tak punya alasan untuk menolak. Lagipula, Marbun tidak jelek dan sudah punya penghasilan dengan berdagang di luar kota. Marbun pun tampaknya tidak keberatan dengan perjodohan kami. Entahlah, aku tak pernah berani bertanya.

    "Siapa orang yang tega membuang anak selucu itu? Anak lelaki yang tampan, agak kurus tapi kalau sudah dirawat pasti bisa gemuk sehat," gerutu mertuaku.

    "Terus, mau diapakan bayi itu, Bu?"

    "Tidak tahu, mungkin dirawat di Puskesmas sampai ada yang mau mengadopsi," jelasnya. "Oh, iya, Mar, Bu Bidan minta kamu ke Puskesmas untuk menyusui bayi itu," katanya lagi.

    Tenggorokanku tercekat, gelas di tanganku sampai terjatuh. Menyusui bayi hasil hubungan gelap? Kalau ibu mertuaku ingin jadi pahlawan, silakan saja, tetapi aku tidak ingin karena aku masih menyusui bayiku sendiri.

    "Maaf, Bu, saya tidak bisa. Minumkan susu formula saja."

     "Ini perintah Bu Bidan, Maryani! Apa kamu tidak mau beramal baik?"

    Aku sudah berbuat baik, bahkan sangat baik pada Sari. Sungguh. Batinku.

    "Kenapa saya, Bu?"

    "Anakmu laki-laki, tidak akan ada masalah di kemudian hari."

    "Tunggu saja sampai polisi menemukan ibunya. Sekalian cari bapaknya juga kemudian arak mereka keliling kampung biar malu!"

    Ibu mertuaku terperangah, selama ini aku tidak pernah membantah.

    "Belum tentu anak hasil hubungan gelap. Mungkin saja anak orang miskin yang tidak bisa bayar biaya bersalin," kilahnya.

    "Dua-dua nya tetap kejahatan, kan, Bu? Pelakunya wajib disanksi."

    Ibu mertuaku terdiam.

    "Apa Ibu terpikir mengapa bayi itu dibuang di kebun Ibu?" tanyaku.

    Perempuan senja itu menggeleng. "Namanya orang panik, nggak mikir panjang. Yang penting tempatnya aman untuk menyembunyikan bayi," ujarnya.

    Aku hanya tersenyum sinis. Kebun singkongnya bukan hanya aman untuk menyembunyikan bayi, tetapi juga untuk membuat seorang bayi.

    "Sebaiknya Ibu tanyakan pada Marbun, dia pasti tahu alasannya."

    Mertuaku kembali terperangah, sementara aku mengemasi gelas kosongnya.

    "Saya akan pulang ke rumah orang tua saya, jadi tidak akan melihat Marbun dan perempuan itu diarak," kataku sambil berlalu.

    "Maryani! Bicara apa kamu ini?"

    Aku bicara benar. Tanyakan pada Marbun siapa perempuan yang membuang bayi di kebun ibunya. Tanyakan bagaimana cara dia berhubungan dengan perempuan itu ketika di luar kota? Tanyakan mengapa Sari memacari lelaki beristri yang tidak mapan daripada lelaki kaya tujuh turunan? Tanyai mereka dan giringlah keduanya yang pernah mengendap-endap ke kamar mandi ibu mertuaku ketika semua orang telah terlelap, kecuali aku. Bawa Sari dan Marbun, lelaki bekas pacarnya itu, berkeliling kampung biar orang melihat rupa para pendosa itu.

    Biar mertuaku juga tahu suami macam mana anaknya itu yang sudi mencumbui perempuan lain di kamar mandinya, ketika luka bekas melahirkan sang istri bahkan belum mengering.

    ***

    Mabruroh Qosim tinggal di Malang dan dapat dihubungi di 085289441976. Email mabruroh80@gmail.com atau FB Mabruroh Qosim dan Instagram @mabrurohqosim. Karya Mabruroh Qosim yang telah dibukukan di antaranya adalah antologi cerpen "Menenun Harap", antologi non fiksi "Rahasiaku", kumcer antologi "Nostalgia Biru" dan kumpulan kisah inspiratif "Doa Ibu Membawaku Kembali", Bunga Rampai "Bahasa Alam", dll.