BLANTERORBITv102

    Batik Amarah

    Rabu, 15 September 2021

    Oleh : Dian Fajar RA

    Di ujung senja, ketika matahari sudah tak jelita, seorang ibu datang ke rumah untuk memesan batik buat seserahan putranya. Malam itu juga aku menggores kain putih yang serupa kafan yang terhampar di lantai. Kubuat polanya terlebih dahulu. Di sisi kanan, kompor kecil bertindih wajan terisi cairan malam dengan canting di atasnya. Kubuat pola dengan penuh amarah. Bagaimana bisa kamu menikahi wanita lain setelah berjanji akan menikahiku? Aku merutuk sepanjang malam.

    Kugambar naga menjulurkan api ke mana-mana. Di sisi kanan dan kiri naga itu ada beberapa bunga mawar, tapi mahkota bunganya berjatuhan. Di ranting yang tersisa hanya beberapa lembar saja. Bunga mawar yang selalu kauberikan kepadaku di saat kita bertemu, aku harap kamu masih mengingatnya. Sedangkan di atas gambar naga dengan juluran apinya, daun waru layu berguguran, sebagai simbol cinta yang tak sempurna. Di setiap tepi daunnya bergeligir, dimakan ulat.

    Nanti akan kuwarnai batik ini dengan warna merah, semerah darah, gumamku berkali- kali. Setelah menggambar pola, cairan malam sudah meletup-letup, mendidih, sedidih darah yang mengalir di sekujur tubuhku. Kain itu kuhamparkan dalam pangkuan, pelan-pelan kuguratkan canting yang penuh malam di mulutnya mengikuti motif dan corak. Bau malam yang khas semakin menguar kenangan, kisah laknat yang tak pernah lumat. Sudah enam bulan aku berusaha berdamai dengan kenangan, kau menghilang setelah kuserahkan mahkotaku yang paling berharga di malam yang terkutuk. Dan kini ibumu datang memesan batik untuk pernikahanmu. Bagaimana bisa kamu berlabuh ke lain tubuh? 

    Dadaku pengap, salur-salur api memenuhi rongga dada. Semua amarah aku tuangkan, tanpa sumpah serapah, tanpa ocehan sampah. Gurat motif dan warna mewakilinya. Batik ini diracuni amarah. Amarahku semakin membuncah manakala teringat percakapan dengan ibumu.

    “Pakai pewarna alami saja, biar elegan. Karena ini menyangkut harkat dan martabat keluarga.”

    Aku bergeming. Bagaimana bisa kau menyebut harkat dan martabat, sedangkan harkat dan martabatku telah ternodai.

    “Tiga bulan jadi, ya?”

    “Bisa.” Menunggu anakmu enam bulan tanpa kabar saja aku sanggup, rutukku dalam hati.

    “Buatkan motif terbagus yang tak pernah ada yang menyamai.”

    “Pasti. Akan aku buatkan yang tak pernah terlupakan.”

    ***

    Keesokan harinya, setelah semua pola tersepuh dengan malam, kuisi dengan isian, mewarnai bunga mawar dan daun waru, lalu aku tutup dengan malam, lalu kain batik pesanan ibumu yang sudah aku rendam, aku celupkan di rebusan kayu secang dan mahoni. Aku celupkan berkali-kali agar warna merahnya semakin kental menyepuh kain. Setelah aku celup, kain batik itu aku angin-anginkan di tali jemuran yang membentang di pekarangan tepi halaman. Membentang di antara pohon jambu dan mangga. Di pohon mangga yang dulu kau suka bersandar ketika menungguku.

    Kain batik itu aku celup lagi, dianginkan lagi, dicelup lagi, dianginkan lagi, dicelup lagi, dianginkan lagi. Hal ini dilakukan supaya menghasilkan warna yang lebih lekat dan pekat, merah ... Semerah darah! Sungguh merupakan suatu proses yang panjang dan melelahkan. Itulah mengapa satu lembar kain batik membutuhkan proses berbulan-bulan. Dari sinilah aku berharap kesabaran dan keteguhanku terlatih. Namun kesabaranku terhadapmu menguap selepas ibumu datang di ujung senja kala itu.

    Setelah ngelir (proses pewarnaan) selesai, batik pesanan ibumu siap aku lorod, memasukkan kain ke air mendidih agar malam meluruh. Kayu bakar aku siapkan, dan bejana berisi air yang hampir penuh. Tiba-tiba kenangan bersamamu muncul kembali. Kejadian malam laknat itu terpampang, tanpa diundang.

    Di bawah langit hitam dan angin yang menderu kencang disertai rintik hujan, saat pulang dari pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK) kita memutuskan untuk berteduh di gubuk pinggir jalan. Kau mencari beberapa kayu dan menyalakannya. Lalu kau merayu, segala janji berebut keluar dari mulut manismu. Entah setan apa yang membisiki hingga kita berbuat dosa yang tak tanggung-tanggung besarnya. Memang benar, tak baik laki-laki dan perempuan yang bukan mahram hanya berdua saja.

    Sebelum di-lorot, kain batik berlatar merah semerah darah itu kuhampar. Mataku nanar melihat hasil batiknya dengan dada berdenyar. Sebelum dadaku semakin sesak, aku masukkan kain batik itu ke bejana. Uap panas menjilati wajahku, seperti sulur-sulur kemarahan menjilati sudut hatiku. Sampai kapan diriku terbakar api kemarahan seperti ini? Aku merutuk dalam hati. Karena sesungguhnya aku tak mau menjadi arang atas api kemarahanku sendiri.

    Keesokan harinya kau datang.

    “Untuk apa kau ke sini? Batik pesananmu belum selesai.”

    “Batik?”

    “Iya, batik pesanan ibumu.”

    “Ibuku memesan batik ke kamu?”

    “Buat seserahanmu!”

    Seketika kau bergeming.

    “Jadi kamu sudah tahu?”

    “Buat apa ditutupi, kabar gembira bukankah seharusnya dikabarkan?”

    “Aku tak bermaksud menutupi, hanya saja ... aku belum mengabarkan kepadamu.”

    “Apa bedanya? Memang, seorang pecundang selalu mencari alasan untuk menutupi kesalahannya.”

    “Maafkan aku.”

    “Besok kamu ke sini, batik pesananmu siap untuk diambil.”

    ***

    Sebentar lagi, kamu akan datang sesuai perjanjian. Batik pesananmu sudah aku ambil dari tali jemuran, masih hangat, lalu aku lipat. Beberapa menit kemudian kamu datang. Aku ajak ke halaman menuju pohon mangga. Di bawah pohon mangga sudah aku siapkan beberapa kayu bakar yang sudah menyala. Kau berdiri di samping kanan, kuperlihatkan batik pesananmu. Kau memandanginya lekat-lekat, matamu berkaca-kaca.

    “Kamu akan membuka lembaran baru, maka semua kenangan kita akan kita bakar di sini, termasuk batik ini.” Aku melemparkan kain batik ke kobaran api.

    “Kenapa batik ini juga?”

    “Aku tak mau wanita yang memakai batik ini merasakan kemarahannya.”

    Kamu tertunduk lesu.

    Dengan ini ... aku berharap semua dendam dan amarahku terbakar tak bersisa. Namun kemarahan yang lebih pitam melumatku menjadi arang. Seketika pisau yang aku sembunyikan di balik bajuku jatuh ke tanah. Dan kamu terjatuh dengan perut berlumuran darah.

    ***

    Dian Fajar RA, anggota ODOP batch 5. Seorang ibu rumah tangga dengan 3 putra. Sekarang berdomisi di Gresik.