BLANTERORBITv102

    Kasur Abadi dan Amplop Si Sobri

    Rabu, 01 Januari 2020

    Oleh: Dee Irum

    Sudah dua kali lebaran Sobri tak pulang, memang himpitan ekonomi dan desakan keinginannya untuk bisa mengubah nasib keluarga membuat ia keras memaksa diri. Tega meninggalkan kampung halamannya. Waktu itu tak tanggung-tanggung ia mendaftarkan diri menjadi TKI. Negeri ginseng jadi pilihannya, bukan karena dia bermimpi jadi 'oppa-oppa', tapi karena kabar wangi dari seorang kawan yang telah meraih sukses di sana. Makin bulatlah tekadnya. Ia pun cari bekal ke sana kemari, diketuknya pintu-pintu rumah yang mengaku karib kerabatnya. Mulai matahari pagi belum tinggi hingga terbenam lagi, hingga buku-buku kakinya kaku.

    ***

    Sedu sedan keluarga mengantarkan kepergian Sobri pagi itu. Ibunya yang sudah sepuh duduk di kursi tunggu, sesekali menyeka bulir-bulir hangat yang jatuh dari sudut matanya. Ia tampak mencoba tetap bijak dan kuat, seperti biasa. Ia paham betul pilihan anaknya. Harga diri harus dipertahankan sekuat urat niatnya. Namun, istri terkasihnya yang ia nikahi setahun lalu, tak henti menangis sejadi-jadinya. Saat diumumkan suami dan rombongannya harus segera bersiap-siap boarding.

    Surti perempuan kebanggaan kampungnya. Kembang desa yang tak hanya rupawan parasnya. Kelembutan dan ketegasanlah yang membuatnya jatuh cinta. Pelan-pelan ia longgarkan pelukan. Ia berbisik kepada istri tercintanya, terdengar lembut namun sedikit parau.

    "Sudah, jangan ditangisi ini sudah kita sepakati, ta? Ini memang harus dilalui. Aku pergi begini biar aku ... kita punya harga diri lagi. Nggak terus-terusan nunggu 'infusan amplop' dari orang tuamu. Aku malu, Nok. Aku suamimu. Aku yang janji sama bapakmu untuk percaya bahwa aku bisa buat kamu bahagia. Wis, ya ... aku pamit, nanti kita sambung lagi lewat telepon kalau aku sudah sampai. Doakan aku, jaga diri. Makan yang banyak. Assalamualaikum...." Sobri menuntaskan kata-katanya segera karena ia melihat Surti masih ingin terus berlama-lama bicara. Ia tersenyum, dielusnya lembut kepala sang istri. Surti mendengus karena kerudungnya jadi tak serapi sebelumnya. Tapi ia hanya bisa diam, kesal. Ditelan lagi kalimat-kalimat yang sempat berjumpalitan di benaknya lalu ia pilih membalas senyuman itu.

    "Waalaikumsalam...." Akhirnya ia jawab juga salam suaminya dengan sepenuh keikhlasan yang diupayakan.

    ***

    Tak mudah membuat pintu-pintu yang diketuknya terbuka. Di saat genting seperti ini memang uang dan relasi kedekatan antar manusia menjadi teruji. Tak banyak yang bisa bernyali mempercayai janji dan usahanya. Sobri mengerti. Kondisi ekonomi mereka juga tak jauh beda meski, ya, sedikit lebih baik darinya. Hingga sampai pintu kesebelas yang ia ketuk. Asanya sudah mulai amblas.

    Ia sempatkan salat Magrib berjamaah di musala terdekat. Menunaikan kewajibannya sekaligus menenangkan diri dari deraan beban juga uneg-uneg yang seharian ia panggul. Rumah ibadah yang sederhana tapi resik. Sejenak perasaan jadi adem ayem. Pikirnya, kalau upaya ini tak berhasil maka pilihan pamungkas adalah pasrah. Ya, itu yang paling benar. Jika harus ke bank untuk pinjam jelas ia tak mau, lebih tepat lagi jika disebut tak bisa, sebab tak ada lagi yang bisa ia agunkan.

    Lepas memenuhi kewajibannya sebagai hamba, ia duduk sebentar di serambi lalu menyandarkan punggung di tiang penyangga musala. Kurang dari lima belas menit Sobri memejamkan mata. Entah karena kantuk mendera atau ia sedang berpikir upaya terakhirnya.

    ***

    Sobri ucapkan salam dan mengetuk pintu rumah sederhana itu. Tampak sepi dari luar, pintu tertutup namun terlihat gorden juga jendela rumah terbuka.

    Lama tak ada jawaban, Sobri melihat sekeliling. Rumah kenangan masa kecilnya. Fasad bangunannya masih terlihat sama. Belum tampak olehnya ada bagian rumah Ari yang direnovasi.

    Ari ialah karibnya semasa SD. Dulu sangat akrab namun karena kesibukan akhirnya mereka hanya sesekali saja bertegur sapa tak sengaja di jalanan.

    Luput dari pendengaran Sobri jika pintu berderak pelan. Seseorang melangkah keluar mendekati Sobri yang sedang berdiri memunggungi pintu. Ari terkejut saat mendapati ternyata sosok yang ada di hadapannya ialah Sobri.

    Ia persilahkan Sobri duduk di bangku plastik yang warna birunya sudah pudar. Gelagatnya ia merasa tak enak hati pada Ari jika langsung 'main tembak'. Apa boleh buat, permainan kata basa-basi Sobri mainkan sebentar. Bertanya apa kabar, bagaimana keluarga, kesehatan, lalu perihal kesibukannya. Meski tampak sedikit canggung, tapi apa boleh buat ia tetap merasa harus bermartabat menjaga kesantunan.

    Sobri akhirnya berkata sejujurnya mengenai maksud kedatangannya malam hari itu. Bahwa ia bermaksud meminjam sejumlah uang untuk mengurus beberapa hal terkait administrasi agar ia bisa segera berangkat menjadi TKI.

    "Aku dan Surti sudah punya tabungan 2 juta, untuk persiapan lain-lain setidaknya aku butuh 3 juta lagi. Aku janji nanti aku ganti, lewat Surti nanti aku angsur tiap bulannya. Tapi kalau kamu ada kelebihan, kalaupun nggak ada aku mengerti, Ri." Terbata-bata ia sampaikan niat hatinya.

    Ari menatap temannya itu, lekat dan lama. Pikiran apa yang berkelindan di dalamnya hanya ia dan Tuhan yang tahu. Menunduk, mengangkat kepalanya lagi lebih dari sekali. Ari menghela napas, kemudian mulutnya berdecak-decak. Matanya menyipit dan di sudut bibirnya muncul garis senyuman.

    "Masya Allah. Tunggu sebentar. Ini luar biasa," ujar Ari terdengar takjub.

    Ia bangkit dari duduknya. Setengah berlari kecil, ia bergegas masuk ke rumah. Tak sampai sepuluh menit Ari sudah keluar lagi menuju teras.

    Sobri yang sejak tadi hanya diam tak mengerti situasi yang sedang ia hadapi, melirik Ari berulang kali. Melihat apa yang ada di genggaman tangan Ari. Tampak amplop coklat mulus dan lumayan tebal. Hati Sobri justru ikut jengkoletan tak karuan.

    Ari mengambil napas dalam, kemudian berdehem pelan. Sobri hanya bisa melihat dengan pandangan bertanya-tanya ia tak dapat menebak sama sekali ekspresi Ari sekarang ini. Bola mata dan pipinya membulat akibat rasa penasarannya.

    Tiba-tiba Ari berdehem sekali lagi kali ini lebih keras. Saking tegangnya, Sobri nyaris terlonjak dari duduknya. Ari tertawa membaca kebingungannya temannya itu.

    "Jadi begini, Sob ..."

    DUAAR ... DAAR ... DORR ...!

    Suara petasan makin mengagetkan Sobri. Kali ini ia benar-benar terlonjak, puncak kepanikannya seolah dirayakan oleh suara petasan yang dimainkan anak-anak itu.

    Sabtu malam Ahad dan menjelang tahun baru sudah pasti langit tak akan pernah sepi dengan suara bising mercon. Angkasa juga makin gemerlap dengan aneka kembang api.

    Saking seriusnya mereka berdua, hingga tak melihat segerombolan anak-anak cekikikan ingin membuat kehebohan. Padahal meski sudah mengendap-endap masih saja terdengar riuh di halaman rumah dengan membawa petasan aneka rupa. Dasar memang bocah!

    Ari tak segera melanjutkan kalimatnya dengan santai prangas-pringis memamerkan sederet gigi khas penikmat keretek. Ari membaca kegusaran Sobri. Akhirnya ia menegakkan bahu dan sedikit menggeser posisi duduk. Ia condongkan tubuh. Sambil tersenyum ia tatap wajah temannya itu. Berkali-kali ia tarik hembuskan napas-napas pendek yang diambilnya. Seperti ingin Sobri menebak saja isi kepalanya ketimbang ia harus menjelaskan

    "Baik, hm ... jadi begini, Sob. Boleh, ya, aku mengawalinya dengan cerita? Sebab aku menduga mungkin kamu tidak ingat kejadian yang aku sampaikan ini," pinta Ari sebelum memulai menjelaskan. "Memang sudah berlalu puluhan tahun. Bisa saja kamu bahkan juga tidak tahu karena memang ini sejatinya rahasiaku dengan Ibu," sambung Ari melanjutkan penjelasannya.

    "I-ibu? Maksudmu ... Ibu-ku? Ibu Ratri?" Sobri tergagap mendengar perkataan Ari.

    "Hai, hai ... tolong dengarkan aku sampai tuntas dulu, ya? Tenang, aku akan buat sesingkat mungkin cerita ini," bersiap memulai ceritanya.

    "Kamu ingat saat SD dulu kita sangat dekat, kamu bukan lagi hanya sahabat. Aku nggak ingat kenapa waktu itu kita bisa begitu akrab. Tapi yang aku ingat kamu sudah seperti saudaraku. Hingga setelah kita lulus, semuanya serba tiba-tiba saat itu. Kamu persis paham kondisi keluargaku seperti apa dulu. Ayahku, tulang punggung keluarga satu-satunya sakit keras dan semakin lama semakin parah. Beliau hanya bisa terbaring di kasur. Kakak-kakakku sama sekali tak bisa diandalkan. Mereka hanya pergi dari satu warung ke warung lain yang kukira mereka sedang berusaha mengais rejeki baik. Ternyata malah sibuk antri pasang nomer judi. Ludes semua yang dipunyai orangtuaku. Sampai akhirnya sebelum Ayah pergi, ibuku yang nggak tahu lagi harus apa di pagi buta itu memutuskan pergi, kabur dari rumah. Aku hanya bisa mengutuk diriku saat itu. Tak ada pelukan yang membuatku merasa punya rumah di mana aku bisa nyaman untuk pulang." Ari bercerita dengan penuh luapan emosi yang naik turun.

    Tak bisa dipungkiri jika itu mengaduk-aduk sisi emosionalnya. Hal kelam yang seharusnya tak digali. Sobri hanya bisa membisu. Sejak tadi berpikir tapi tidak juga dapat menemukan kalimat untuk menghibur Ari.

    "Maaf ...." Hanya kata itu yang akhirnya muncul dari bibirnya.

    Ari bersiap melanjutkan ceritanya. "Sampai satu hari, Ayah ingin sekali makan nasi jagung, urap sayur, lengkap dengan ikan asin. Ia memanggilku agar aku mau meluluskan keinginannya dan segera berangkat ke pasar. Mau tak mau aku harus pergi, padahal tak ada uang sama sekali yang beliau miliki. Aku? Hanya bocah lulusan SD yang nggak tahu harus apa di situasi ini. Waktu itu aku hanya tahu harus ke pasar. Aku takut itu permintaan terakhir Ayah." Ari berhenti dan mengatur napasnya sebentar.

    "Tanpa berpikir, aku cuma tahu harus sampai pasar dulu. Sesampainya di sana, aku semakin bingung, entahlah Tuhan menggerakkan aku ke warung kecil di pojok pasar. Aku masuk dan menanyakan ke Wak Tum pemiliknya, apa yang bisa aku lakukan supaya bisa dapat duit. Mungkin mukaku waktu itu memelas banget, ya, jadi Wak Tum tanpa pikir panjang langsung menunjuk ke tempat cuci piring dengan gunungan pecah belah kotor. Hahaha ...." Ari tergelak, ia tampak sudah sedikit rileks bercerita masa lalunya sekarang.

    "Lalu? Maaf ... hmm ... sekali lagi, maafkan aku jika aku memotong penjelasanmu. Tapi bisa kamu perpendek lagi, apa hubungan amplop itu dengan ceritamu itu dan juga kaitannya dengan aku? Maaf, aku sedang terburu-buru, semua orang di rumah sedang menunggu kabarku." Sobri beranikan diri menyela sebab malam itu ada hati yang cemas menunggunya.

    "Nah, oh ya ... maaf waktumu pasti tak banyak untuk dengar rincian ceritaku. Tapi tolong dengarkan dulu, biar semua cerita ini tunai aku bagi padamu," ucap Ari penuh harap.

    "Oke, cepat selesaikan ceritamu," sahut Sobri tak tega.

    "Jadi setelah dapat uang hasil kerja dengan Wak Tum aku pamit. Beli nasi jagung pesanan Ayah. Rejeki memang harus dijemput. Itu pelajaran rejeki paling nyata yang aku sadari untuk pertama kalinya. Ternyata alhamdulilah masih ada sisa. Kusimpan saja siapa tahu nanti butuh. Aku segera pulang setelahnya," Ari kembali bercerita.

    "Saat perjalanan balik, aku bertemu ibumu. Beliau juga sudah selesai belanja tampaknya, ia memanggil dan menungguku di pinggir pintu keluar. Lalu mengajakku pulang jalan kaki bersama. Sepanjang jalan ibumu bertanya banyak." Ari tertunduk kembali.

    Ada yang jatuh ke lantai semen, tertangkap oleh mata Sobri. Ia kembali membatu, ada hangat yang ia rasakan malam itu. Ia ingin segera pulang tapi ia juga ingin mendengar keseluruhan cerita Ari.

    "Ibuku memang suka bertanya apa saja," sahut Sobri sekenanya.

    "Ibumu ternyata tahu kondisi keluargaku, aku ceritakan kalau aku berniat kerja serabutan saja. Sekolah akan menambah beban pikiran ayahku saja. Tapi ibumu memintaku jangan putus sekolah, harus bisa mengubah nasibku sendiri. Sebelum kami berpisah siang itu, ibumu mintaku agar besok main ke rumahmu. Ternyata nggak aku duga sama sekali ibumu sudah mempersiapkan sesuatu. Kebetulan kamu sedang pergi entah ke mana aku lupa. Ibu memberikanku gulungan tas kresek lurik hitam putih diikat rapi dengan karet gelang warna merah. Aku masih mengingatnya, Sob." Ari tersenyum lebar sekali mengingat kejadian itu, sambil terus bercerita dan pandangan matanya mengingat tiap fragmen dalam otaknya.

    "Kata beliau, aku harus mau terima. Itu simpanan ibumu untuk beli kasur baru buat bapakmu. Namun, saat itu, ibumu berkata bahwa bapaknya Sobri sudah dapat ganti kasur abadi dari Gusti Allah. Jadi terima ini sebagai rasa hormatmu pada kami yang sudah seperti anak sendiri. Kalau kamu merasa risih, anggap saja kami meminjami satu hari jika kamu mampu silahkan dikembalikan. Tapi jika tidak anggap saja kami berinvestasi. Ibu tak berkenan menerima penolakanmu. Pakai ini untuk urus pendaftaran sekolahmu," celoteh Ari menirukan gaya ibuku bertutur.

    Sobri ikut terkekeh geli membayangkan ibunya.

    "Uang bulanannya nanti kita pikirkan bersama-sama, ya. Jangan sungkan dengan Sobri, nanti Ibu yang jelaskan jika perlu," kalimat Ari meluncur cepat, masih menirukan ibuku, melanjutkan penjelasannya.

    Lalu ia sambung kembali, "Isi amplop ini adalah utangku. Mohon kamu bisa ambil kembali. Tidak ada yang kebetulan. Kenapa langkah terakhirmu kemari? Kenapa hari ini aku menyanggupi bertukar shift kerja dengan temanku. Semua sudah ada yang atur. Gusti Allah tahu ini saatnya. Kamu nggak usah mikir aneh-aneh, lunasi saja harga dirimu itu. Aku dukung!"

    "Eh ... ya nggak bisa begitu, ta. Ini kan urusanmu sama Ibu. Aku nggak ada sangkut pautnya." Sobri masih menolak meski hati sebenarnya bertolak belakang.

    "Sekian tahun setelah keadaan ekonomiku membaik, aku mulai mengumpulkan sedikit demi sedikit. Berniat melunasi harapan ibumu waktu itu. Ini hakmu, rejekimu. Terimalah! Aku pun tak menerima penolakan. Aku senang. Terima kasih sudah menyambung silaturahmi lagi kesini. Itu lebih berarti buat aku," ucap Ari sambil menyodorkan amplopnya.

    Sobri bergetar hebat, rasanya tak percaya. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, sambil mengusap air mata yang sudah tak malu-malu lagi keluar dari persembunyiannya. Ari tersenyum lega, ia mendekat menepuk-nepuk punggung sahabat lama yang baru ia temui.

    Jika Semesta sudah saling mendukung itikad mereka yang sederhana namun mulia, mana ada yang bisa menahannya.

    DERRR ... DOOOR ... DAAAR...!

    Seperti di melodrama seolah jadi puncak penutup kisah cinta. Warna-warni cahaya petasan beserta suaranya kembali pecah berulang kali di angkasa.

    ***

    Dee Irum seorang perempuan biasa yang doyan plesir. Serius terjun di dunia literasi pada akhir bulan Agustus 2019. Wanita dan Pena (Markas Pejuang Literasi), Semoga Kau Dapati Akhir yang Indah (One Peach Media), Diam dan Bersuara (One Peach Media), Re-Born (One Peach Media), Opera Sudut Tawa (Raditeens) dan Sekilau Permata (Raditeens) merupakan judul buku antologinya. Pecinta senja dan bermimpi jadi bakul kopi. Menulis untuk mengabadikan diri melalui cerita yang ia bagi, selaras dengan mantra dirinya, Life is about giving and being. Simak tulisannya di www.semestanayanika.com. Sapa ia di facebook Dian Ekaningrum, twitter @dee_irum, dan instagram @dee.irum