BLANTERORBITv102

    Cerpen : Nestapa Penumpang Bahtera Nisshōki

    Sabtu, 02 Juli 2022
    Nestapa Penumpang Bahtera Nisshōki

    Oleh: Tasya Fiane Wardah

    Bola mata cokelatnya menerawang jauh samudera biru gelap kehijauan dari buritan kapal. Sekian kalinya, ia menunduk memandang foto hitam putih seorang wanita muda dalam liontin kuning berukir mawar di genggaman.

    Air matanya kembali jatuh membasahi pipi merah merona. Urat wajahnya dipaksa bekerja keras mengembangkan senyum sejak kapal gergasi itu membelah lautan antah berantah.

    Seiring embusan angin muson timur menusuk tulang hadir sepersekian detik kemudian, begitu pula tekadnya menguat. Tatapan nanar berubah jadi semangat, tak lain datang dari buah hati tersayang. Si empunya potret dalam liontin usang.

    Rambut panjang senada warna matanya tersibak melambai anggun beradu dengan belasan nisshōki berkibaran di geladak.

    ***

    Mesin pemancar suara berbunyi dari anjungan. Terdengar asing di telinga sekian pasang mata wanita muda yang kekenyangan. Orang-orang bermata sipit datang mengakhiri kedaulatan bangsa yang menduduki bumi pertiwi tiga setengah abad lamanya. Tutur kata baru mereka masih jarang dimengerti pribumi.

    Sekonyong-konyong, kapal gergasi ini berhenti. Aktivitas bersantai para puan akibat sarapan terlalu pagi berganti jadi wahana kasak-kusuk keheranan. Di tengah samudera lepas, kapal itu melayang-layang tanpa kemudi.

    Situasi mendadak sunyi meninggalkan keresahan di raut muka ratusan penumpangnya. Baru mereka sadari para awak kapal yang semula hilir mudik mendadak hilang setelah piring-piring berisi makanan itu tersaji.

    “Ada apa?” tanya seorang wanita kepada yang lainnya.

    “Aku tak tahu, adakah yang bisa kita tanya? Kami tak paham bahasa mereka,” jawab salah satu di antara mereka.

    Kasak-kusuk itu terhenti tatkala sirine panjang berbunyi menggelegar bagai petir menyambar kepala masing-masing dari mereka. Tak kalah mengejutkan lagi saat para awak kapal dan serdadu berlarian dari segala penjuru sambil berteriak layaknya predator beringas kelaparan bertemu mangsanya.

    Gemuruh sirine berlomba dengan jeritan wanita tak berdaya. Memecah kesunyian bumi langit semula mengharu biru beralih merah pekat sekental darah.

    Tiada yang mengira teror mengerikan ini terjadi, impian yang dibawa seketika porak-poranda sebagaimana kondisi tubuh mereka sendiri. Beberapa tak kuasa menahan pedih meminta segera dihabisi nyawanya, lalu tubuh itu dibiarkan tenggelam menuju dasar palung terdalam.

    ***

    Sebuah liontin berukir mawar dilempar ke arah mata angin berhembus, pantulan mentari buatnya berkilau sesaat sebelum jatuh dan hilang ditelan lautan. Tiga hari berlalu setelah tragedi mencekam itu dimulai.

    Kapal gergasi itu tak lagi memancarkan sinar kemegahannya, justru kini berwujud layaknya neraka.

    Pekerjaan paling sibuk dan bengis berlangsung sejak malam teror itu belum usai juga. Di antaranya mengepel bekas-bekas kebrutalan yang tercecer di tiap sudut ruang, sebagian bertugas melempar tubuh kaku penuh lebam ke segara.

    Wanita bermata coklat itu terkapar di ruang bawah bersama belasan puan lainnya. Napasnya menderu seperti bunyi lokomotif, keringatnya mengucur membasahi tubuh tanpa sehelai benang─ia bersikeras untuk hidup meski tahu malaikat pencabut nyawa menunggu gilirannya mengakhiri nestapa.

    Pintu ruangan itu terbuka, tiga orang serdadu masuk dan mengangkat tubuhnya.

    “Tuan, tolong … jangan habisi … saya…,” rintihnya tanpa tenaga.

    Tiga serdadu itu pura-pura tak mendengar, mereka melaju menuju samping geladak. Dilihatnya beberapa tubuh yang ia kenal sudah tak bernyawa, kini gilirannya dilempar ke lautan karena dianggap tak akan mampu bertahan hidup sampai menyentuh daratan.

    “Betapa bengis kalian!” ia berteriak menghabiskan sisa energinya. “Tunggu sampai orang-orang kami tahu peristiwa ini, kalian akan diadili dengan setimpal! Kalaupun bukan hukum yang membuat kalian jera, siksa Tuhan lebih menyakitkan dari kebrutalan yang kalian lakukan!”

    Tubuh itu melayang semakin lenyap dari pandangan orang-orang di atas geladak. Air matanya menyatu dengan molekul sekitarnya. Tatapnya nanar namun tak lagi mampu terisak sewaktu parunya gagal berfungsi.

    Harusnya bukan ini yang terjadi, harusnya ia sudah sampai daratan dan mulai mengajar. Seperti janji orang-orang bermata sipit yang mengaku saudara jauh bangsanya itu. []

    Ditulis untuk mengenang peristiwa jugun ianfu di Indonesia pada masa penjajahan Nippon (1942-1945).

    Tasya Fiane Wardah. Seorang pembelajar abadi berusia 25 tahun yang kini sedang menuntaskan pendidikan magister Ilmu Administrasi Publik di Kota Malang. Di tengah kegiatan riset tesis dan pekerjaan sebagai konsultan pemerintahan, ia memilih bergabung di OPREC Komunitas One Day One Post Batch 10 untuk kembali mengasah bakat menulisnya.