BLANTERORBITv102

    Pulang

    Selasa, 15 Maret 2022

    Cerpen Pulang

    Oleh : Achmad Ikhtiar

    Hampir tengah malam. Bulan yang kisut cahayanya terpantul pada genangan di sebuah peron kereta yang nyaris kosong. Wajahnya retak-retak, kusut masai habis dikutuki manusia seharian. Di sebelah barat kabut abu-abu menyelubungi rel yang seolah tanpa ujung. Aku bersandar pada tiang peron sambil sesekali melongok pada arloji yang membelit pergelangan tangan sebelah kanan.

    Hawa kebosanan beberapa kali kuhembuskan. Penantian dua puluh menit ini terasa selamanya. Sesekali dalam lamunan wajah-wajah yang kukenal melintas. Keluarga, kekasih, sahabat, kemana mereka sekarang?

    Dari dalam kabut kereta datang, suaranya bergemuruh seperti badai dan berdecit-decit memekakkan telinga. Saat berhenti dia mendengus seperti ingin memaki orang-orang yang terus memacunya tanpa henti seharian.\

    Pintu kereta terbuka secara otomatis. Arena remang-remang di peron berubah seketika menjadi terang-benderang. Satu-dua penumpang turun dengan wajah tertunduk. Kelelahan. Aku melangkah masuk ke dalam kereta lalu berjalan pelan mencari posisi yang sebenarnya semua kosong.

    Untuk beberapa saat kereta hening sebelum mulai diisi dengan suara-suara tanpa wajah. Aku duduk tegak dengan wajah lurus ke depan, memandang tembus ke luar jendela yang tak ada siapa-siapa. Kekosongan, hanya kekosongan sejauh mata memandang di luar sana. Sangat berbeda dengan di dalam kereta yang riuh dengan suara tanpa wajah.

    Ada banyak cerita yang dibisikkan kursi kepadaku tentang orang-orang seharian ini.

    “Tadi pagi ada seorang remaja yang menangis diam-diam di kursi kedua sebelah kanan arah pintu. Dia baru putus dengan pacarnya karena harus kuliah ke luar kota.”

    “Dua tempat duduk ke kiri dari posisimu sekarang. Sekira zuhur tadi ada ibu-ibu yang tanpa sadar kecopetan.”

    Aku mulai duduk bersandar, mencoba menenangkan pikiran sambil berseloroh, “Apa peduliku?”

    “Di tempat yang kamu duduki ini, sore tadi ada seorang bapak yang baru saja di-PHK dari tempat kerjanya.”

    ‘Cukup,’ batinku. Sambil berdiri dan mulai berjalan ke arah depan. Lelah duduk dalam gerbong yang ceriwis ini. Tak ada satu orang pun yang kutemui saat melintasi gerbong demi gerbong sampai dua gerbong paling depan aku putuskan untuk duduk, memasang headset dan memutar musik dengan volume maksimal.

    Kucoba memejamkan mata agar rasa penat seharian ini hilang dan suara-suara tak senonoh dari dalam gerbong ini tidak muncul lagi.

    Rupanya aku tertidur. Entah berapa lama. Aku terjaga saat suara dengus kereta membangunkanku diiringi desis suara pintu yang terbuka. Tidak ada siapa-siapa, hanya suara rintik hujan yang memukuli atap kereta dan hembusan angin dingin yang masuk. Kurapatkan jaket agar tubuh tetap hangat.

    Dari arah gerbong depan ada satu petugas yang berkeliling untuk memeriksa. Aku pura-pura tidur dan dia lewat begitu saja.

    “Tahu tidak, lelaki itu punya dua orang anak, satu laki-laki berumur sebelas tahun dan satu lagi perempuan berumur enam tahun. Mereka tinggal bersama istrinya di kampung. Sebulan sekali dia pulang untuk menjenguk anak dan istrinya. Di kota ini dia main gila dengan perempuan lain yang umurnya hanya setengahnya ....”

    “Stop!” sentakku dengan nada sedikit tinggi.

    Gerbong ceriwis ini menghentikan bisikannya.

    “Mau kuceritakan tentang masinis yang membawa kereta ini?” tanyanya dengan nada dilucu-lucukan.

    “Bisa diam?” tanyaku.

    “Baiklah. Tapi kurasa kali ini kau harus mendengarkanku.” Nadanya sekarang sedikit serius.

    Tidak kutanggapi. Aku memejamkan mata, lalu memicingkan mataku sedikit untuk melirik jarum arloji. ‘Masih belum lewat tengah malam juga,’ batinku.

    Padahal sepertinya aku sudah cukup lama naik ke kereta ini.

    “Jarum jam di arlojimu tidak akan pernah berputar.” Tiba-tiba saja si gerbong ceriwis bergumam seolah-olah dia mampu membaca pikiranku.

    Kupelototi jarum jam. Diam. Tak ada gerakan. Kukibas-kibaskan tangan dan kudekatkan ke telinga demi mendengar detakan dari arloji. Nihil.

    “Bukan arlojimu yang rusak. Tapi waktu menjadi beku saat ini.”

    “Maksudnya?” tanyaku pendek.

    “Kamu tidak pergi ke mana-mana. Dan waktu tidak bergerak. Segalanya menjadi beku di sini. Yang ada hanya kamu, aku dan masinis.”

    Aku mengernyitkan kening.

    Kereta kembali mendengus. Berhenti, lalu pintu terbuka. Semua keluargaku masuk. Kakek, nenek, kakak, adik, ayah, ibu, paman, bibi, lalu disusul sahabat dan kekasih. Dengan rapi mereka duduk di kursi seberang tempat dudukku. Wajah mereka bersinar. Mereka semua tersenyum tapi tak ada satu pun yang bicara.

    Aku hanya duduk mencoba menguasai keadaan. Pintu tertutup, kereta kembali berjalan.

    Pintu pemisah gerbong terbuka, seorang lelaki yang kutaksir usianya empat puluhan masuk. Dari pakaiannya dapat kuduga kalau dia adalah masinis kereta ini.

    Dia berjalan ke arahku, lalu duduk tepat di sampingku. Matanya menatap lurus ke depan. Tanpa ekspresi.

    Kereta terus berjalan membelah malam yang tanpa ujung.

    Stasiun demi stasiun terlewati. Sampai pada sebuah stasiun yang tak bisa kukenali, masinis itu menengok ke arahku.

    Mulutnya berucap tapi tak ada suara yang keluar. Bibirnya mengerucut dan membuka terus menerus. Aku mencoba menerjemahkan kata yang hendak dia ucapkan.

    Lu..pang, tu... lang, su... lang, u... lang, pu... lang,’ aku terus mencoba memahami kata-katanya.

    Pu... lang, pu.. lang, pulang.’ Akhirnya aku paham apa yang dia maksudkan. Suara kereta terdengar bergemuruh hebat.

    Tangan masinis itu merengkuh pundakku, semakin lama semakin keras.

    Aku terhenyak saat sadar sudah tertidur sambil bersandar di tiang peron stasiun. Keringat bercucuran dari kening. Cahaya bulan yang kisut masih terpantul pada air genangan.

    Kuseret ransel berat yang sedari tadi kugeletakkan di lantai peron. Satu-satu anak tangga kunaiki. Kuputuskan, pulang.[]