BLANTERORBITv102

    Bagaikan Gunting dalam Lipatan

    Selasa, 15 Februari 2022
    Bagaikan Gunting dalam Lipatan

    Oleh : Fitriati Arina Manasikana

    “Cinta datang jangan dihadang, namun jika cinta hilang jangan dikenang,” begitu pesan Bapak padaku, sebelum aku meninggalkan kampung halaman. Kepergianku untuk melupakan Hasna, gadis yang kucintai.

    ***

    Sebelum musim penghujan datang. Kira-kira kurang tiga minggu lagi musim hujan akan datang. Bapak mengajakku membeli benih padi di toko pertanian di pasar desa. Kata Bapak, memilih dan membeli benih padi merupakan langkah pertama yang akan menentukan kesuksesan panen mendatang. Setelah membeli benih dari toko pertanian, kusempatkan mampir di sekolah Hasna. Hasna adalah kekasih hatiku. Dia bekerja sebagai guru SD di desa. Kutitipkan selembar surat cinta pada rekannya, karena dia masih mengajar.

    Sesampainya di rumah, Bapak akan menyeleksi benih-benih, dengan cara sederhana. Benih padi akan direndam dalam larutan garam dapur atau menggunakan larutan pupuk ZA. Perendaman dilakukan selama 24 jam, di mana benih yang terapung akan dibuang dan yang tenggelam akan dipakai.

    Selama masa pemilihan benih aku sering menemani Bapak sambil mendengarkan pesan-pesan cinta dari radio. Pesan-pesan cinta merupakan acara favoritku, sebab Hasna sering mengirimkan pesan cinta lewat radio setelah mendapat surat cinta dariku.

    “Dia telah membaca suratku, Pak,” kataku pada Bapak sambil cengengesan.

    “Surat cintamu pada Hasna?” sahut Bapak. Bapak menepuk bahuku, “Hasna perempuan yang baik, semoga dia jodohmu.”

    Lalu, benih-benih itu dicuci dan ditiriskan. Setelah benar-benar kering, benih-benih akan diperam dalam karung selama 48 jam, hingga benih berkecambah. Kemudian, barulah masuk dalam tahap penyemaian. Bapak biasanya menggunakan metode semai dapog, metode terbaru yang dikenalkan oleh sepupuku Ghofur, yang baru saja lulus dari fakultas pertanian.

    Menurut bapak metode semai dapog lebih hemat waktu dan tenaga kerja daripada yang biasanya. Apalagi untuk penanaman bisa menggunakan mesin rice transplanter. Alat menanam padi yang dikenalkan Ghofur kepada para petani di desaku.

    Semenjak kepulangan Ghofur, dia sering mengajarkan banyak cara bertani yang jauh lebih modern kepada kami. Satu minggu sekali di balai desa, dia akan mengadakan pelatihan cara bertani yang lebih modern untuk para petani.

    “Ghofur keren ya, Pak,” pujiku saat mengikuti pelatihannya kala itu.

    ***

    Satu tahun yang lalu, Ghofur yang baru saja lulus dari fakultas pertanian, pulang kampung. Ilmu yang di dapat selama di kampus, ia terapkan di desa. Banyak warga antusias menerima pembaharuan metode bertani darinya, termasuk Bapak. Terbukti, panen padi beberapa bulan yang lalu, sukses besar.

    Ghofur mengajarkanku bagaimana cara menyetir mesin rice transplanter. Satu minggu kursus padanya, aku pun bisa menyetir mesin tersebut dengan lanyah. Ghofur memberikan kendali mesin itu padaku, jika ada orang yang membutuhkan mesinnya, maka aku yang akan mengoperasikan.

    Ghofur mengajariku banyak hal, termasuk cara memasarkan hasil panen lewat internet. Darinya, aku belajar menjadi pedagang online yang memasarkan hasil panen sawah Bapak, hasilnya lumayan. Aku pun juga membuka jasa penanaman benih padi dengan mesin rice transplanter di sosial media, dan banyak petani dari luar desa yang berminat.

    Upah dari penyewaan mesin, tidak pernah Ghofur minta. Ia selalu memberikannya kepadaku, katanya untuk membantu biaya pendidikan Salim. Baik sekali sepupuku itu, karenanya perekonomian keluargaku makin meningkat.

    “Terima kasih, Fur,” ucapku kala itu saat kami sedang mengobrol bersama.

    “Sama-sama. Gunakan uang itu juga untuk meminang Hasna. Bukankah kamu sudah lama kepingin nikah dengannya?” sarannya.

    “Mungkin satu tahun lagi, aku akan meminangnya. Semoga rezekiku lancar terus,” kataku.

    “Amin,” sahutnya.

    ***

    Pagi ini Bapak menanam padi dengan mesin rice transplanter di sawah, yang telah dibajak beberapa hari yang lalu. Aku kemudikan mesin itu di sawah Bapak. Memang benar apa yang dikatakan oleh Ghofur, dengan mesin ini bisa menanam padi lebih cepat, tepat dan serempak. Banyak petani di desa yang meninggalkan metode lama, sistem tanam pindah atau tegel. Sistem ini terlalu lama, dan tidak bisa serentak.

    Saat aku sedang asyik menjalankan mesin ini sembari berdendang lagu bang haji Rhoma Irama, Salim berteriak-teriak dari pematang sawah, melambaikan tangan agar aku mendekat. Aku turun dari mesin, dan Bapak yang melanjutkan menanam padi.

    “Ada apa, Lim?” tanyaku.

    Peluh membasahi keningnya. “Mbak Hasna nangis di rumah, Emak minta Mas Dika pulang.”

    Aku agak tersentak, kenapa Hasna menangis di rumah? Kemarin malam pesan darinya sudah kubalas, bahkan kami masih membicarakan masa depan hubungan kami. Perasaanku jadi tidak enak, apa mungkin kabar burung yang beredar di pos kamling tadi malam memang sebuah fakta?

    Kabar burung yang menyiarkan jika Hasna cucu semata wayang Mbah Suryo akan dinikahkan dengan pria pilihan keluarganya? Takut jika kabar burung itu benar adanya, aku segera pulang ke rumah. Di teras rumah, kulihat Hasna sesenggukan di dekapan Emak yang duduk simpuh.

    “Dika,” panggil Emak.

    Hasna mengurai pelukan Emak, kedua matanya sembap, linangan air mata membasahi kedua pipi tembamnya. Sorot matanya menyiratkan ada kesedihan yang mendalam.

    Aku duduk di sampingnya. “Ada apa, Na?” tanyaku pelan.

    Ia mengingsut ingus, mengusap bekas air mata dengan ujung kerudung merahnya. “Aku...” ucapnya lalu ia tergugu lagi.

    Kubelai lembut punggungnya. “Katakan, Na.... Mas Dika ada di sini, ada apa, apakah ada yang menyakitimu?” tanyaku cemas.

    Kedua matanya berembun, sinar keceriaan yang biasa ia tunjukkan tak ada lagi. Ia menghambur dalam tubuhku, mendekap erat. Kurasakan hangat air matanya, membasahi kaos putih bergambar partai yang kupakai. Kubiarkan ia menangis sepuasnya dalam dekapan.

    “Mas Dika...,” ucapnya saat ia sudah sedikit tenang. Ia mengurai pelukannya, lalu menatapku lekat-lekat. “Aku besok mau menikah, Mas,” ujarnya kemudian terisak.

    “Maksudmu, bagaimana Na?” tanyaku kebingungan.

    Hasna mengeluarkan selembar undangan lalu diberikan padaku. “Ini undangan untukmu, Mas,” ucapnya kemudian tergugu lagi.

    Hasna Ayu dan Ghofur Jaelani, akad nikah besok pagi pukul 9 pagi di Masjid An Nur. Nama mempelai laki-laki yang akan menikahi Hasna bukan aku, melainkan sepupuku.

    “Ternyata kebaikannya hanyalah jalan untuk merebut kekasih hatiku. Sialan kamu… Sialan…  Bajingan…  Anjing!” sumpah serapahku.

    Bodohnya aku yang telah tertipu oleh tipu muslihatnya. Dengan geram kuremas undangan pernikahan mereka.

    Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku yang ingin menghajar wajah Ghofur sampai babak belur. Dia malah datang ke rumah bersama dengan Mbah Suryo mengendarai mobil barunya yang baru saja dibeli. Pintu mobil dibuka, keluarlah Mbah Suryo, kakek Hasna. Dia menatapku sinis, tersenyum miring, dengan mulutnya menggigit cangklong.

    “Dika... Dika. Kamu marah karena Hasna akan menikah dengan Ghofur bukan denganmu?” tanya Mbah Suryo bernada setengah mengejek. “Ingat, Dika, derajatmu beda dengan kami. Kamu hanya seorang petani, sedangkan Hasna merupakan cucu semata wayang juragan sapi perah, Mbah Suryo.”

    “Kamu harusnya sadar diri, Dika.” Mbah Suryo menunjukku dengan cangklong. “Ghofur lulusan universitas ternama, dan dia juga baru saja diterima menjadi pegawai negeri sipil di dinas pertanian, sedangkan kamu?” Mbah Suryo membuang ludah tepat didepanku. “Untuk beli baju saja kesusahan. Masa depan Hasna lebih terjamin dengan Ghofur.”

    Mbah Suryo berjalan mendekat, lalu jongkok tepat di depan wajahku. “Sadar diri, Dika. Kowe kie kere (Kamu itu miskin). Hasna butuh sandang, papan lan pangan, bukan hanya cinta saja.”

    Kedua tanganku mengepal menahan luapan emosi untuk tidak menjotos wajah tua bangka Mbah Suryo yang kurang ajar. Kulihat Hasna meronta-ronta saat ditarik paksa oleh Ghofur agar mau bersamanya.

    “Ghofur!” pekikku penuh dengan kemarahan.

    Dia menatapku dengan sinis seperti Mbah Suryo. Sorot matanya yang selalu membantuku selama ini, hanyalah bagaikan gunting dalam lipatan.

    “Aku berdoa kepada semesta untuk menjadi Rahwana agar bisa menculik Hasna darimu,” ucapku.

    Ghofur terbahak-bahak sambil menatapku. “Kamu memang pantas menjadi Rahwana. Ketahuilah Dika, Rahwana mati di tangan Rama,” ejeknya kemudian membawa Hasna pergi.

    ***

    Setelah pesta perkawinan Hasna dan Ghofur digelar begitu meriah di desa. Untuk mengobati lara hati, aku pun pergi meninggalkan desa, merantau ke kota. Di terminal kecamatan, Bapak berpesan padaku: “Cinta datang jangan dihadang, namun jika cinta hilang jangan dikenang.”

    “Wahai semesta alam mengapa engkau ciptakan rasa cinta di hatiku untuk Hasna, jika akhirnya dia bukan untukku?” batinku seraya menikmati perjalanan ke kota.

    ***

    Fitriati Arina Manasikana, seorang ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi guru Bimbel Mutiara. Tinggal di Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Anggota ODOP Batch 7.