BLANTERORBITv102

    Bukan Jalan ke Surga

    Rabu, 15 Desember 2021

    Cerpen Bukan Jalan ke Surga

    Oleh: Dewi Yulianti

    Tadinya kupikir, setelah melahirkan aku akan ikut dilahirkan kembali. Menjadi seorang manusia baru bernama ibu. Kau tahu bukan, ibu adalah orang yang di telapak kakinya ada surga. Ya, setidaknya hal itu yang selama ini pernah tertanam pada otakku.Tapi tidak terjadi pada sebenar-benarnya kehidupanku. Aku benar-benar mati, justru setelah aku bertaruh nyawa demi kelangsungan hidup orang lain yang disebut anak.

    Cih! Sebelumnya aku bahkan tak pernah mengharapkan anak itu hadir di dalam rahimku yang masih gadis ini. Semua terjadi begitu saja setelah laki-laki itu menjejaliku banyak sekali obat, yang aku pun tak tahu apa. Perlu kau garis bawahi dari sini. Aku telah dinodai.

    Oh, ya. Panggil saja aku Sari. Umurku baru saja menginjak angka 21 tahun tiga bulan yang lalu. Saat di mana aku merasakan sakit yang setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan.

    Aku masih tak mengerti kenapa anak kecil itu memilih untuk lahir di bulan yang sama dengan bulan kelahiranku. Dan yang lebih mengherankan lagi, bayi itu mampu bertahan setelah kupaksa keluar berkali-kali dengan berbagai cara.

    “Sudahlah, Nak. Besarkan dia. Rawat dan jadilah jalan menuju surga untuknya,” kata ibuku yang saat itu telah pasrah akan jalan hidupku.

    “Jalan ke surga katamu, Bu? Bahkan surga tak lagi mau menerima wanita macam aku ini, Bu. Bagaimana bisa aku menjadi jalan menuju surga bagi orang lain?” tawaku pecah kala itu.

    Bukan tanpa alasan aku ingin mengusir bayi itu dari rahimku. Lelaki yang menghamiliku itu punya segala kuasa yang tak mampu kulawan seorang diri. Aku hanya rakyat jelata yang masa depannya telah direnggut secara paksa. Bahkan melapor pada berbagai pihak pun, aku dianggap debu. Percuma.

    Keluarga yang seharusnya bisa menjadi tamengku, justru berbalik menyerang.

    “Bodoh kamu! Mau-maunya dihamili oleh laki-laki seperti dia,” pekik pamanku, adik dari almarhum ayahku, saat aku mencoba mencari perlindungan.

    Banyak hal lain yang justru semakin menjatuhkan mentalku saat mencoba mencari kekuatan dari orang-orang terdekat.

    “Mau sama mau ya dinikmati saja hasilnya. Jangan ikut-ikutan menyeret orang lain dalam masalahmu!” ucap seorang kawan yang menjadi harapan terakhirku sebagai tempat mengadu.

    Aku dibunuh berkali-kali. Aku tak punya tempat untuk sekadar menuang kegelisahan dalam otakku ini. Di sini, seharusnya aku yang merasa disakiti. Namun semua berbalik menyalahkan diriku. Penampilanku. Bahkan dengan semena-mena menganggap diriku terlalu jauh dari nilai agama yang aku anut.

    Apakah wanita memang pantas untuk selalu disalahkan di saat-saat seperti ini? Bahkan di saat ia sedang berjuang untuk keadilan bagi dirinya sendiri.

    Akibat perubahan hormon dan tentu saja bentuk tubuhku, serta lelahku saat memikirkan masa depan anak di dalam kandunganku kelak, berujung membuatku mengidap depresi mayor. Bukan aku yang melabeli diriku sendiri seperti itu. Ibu memeriksakanku ke psikiater dan disarankan untuk dirawat inap, namun aku menolak. Aku juga harus menghabiskan waktu beberapa kali berkonsultasi dengan psikolog. Namun itu semua tak berhasil membuatku merasa lebih baik.

    Beberapa kali aku berpikiran untuk mati. Aku bahkan pernah merencanakan untuk membancuh racun pada minuman favoritku saat itu. Namun Ibu memintaku untuk tetap hidup. Apalah dayaku yang juga takut akan kematian itu.

    Hingga tibalah saat di mana gadis kecil itu terlahir ke dunia.

    Seorang bayi cantik, dengan mata sipit dan kulit kuning langsat serta rambut yang hitam tebal. Persis seperti diriku saat bayi, kata Ibu.

    Dialah yang menjadi alasan aku bertahan. Setidaknya sampai aku menuliskan surat ini.

    Kutimang dia, kususui bahkan kuajak dia tertawa bersamaku. Menertawakan kebodohanku saat bersedia diajak pergi oleh lelaki itu. Apa masih pantas aku menyebutnya sebagai ayah dari gadis kecilku itu?

    “Jangan jadi bodoh seperti ibumu, Nak! Jadilah wanita pintar,” ucapku setiap selesai memandikannya.

    Saat dia menangis sebab hal yang tak aku pahami, aku ikut menangis bersamanya. Tak jarang aku hanya membiarkannya lelah dan tertidur dalam tangisannya sendiri.

    “Anak nakal. Menangis itu cuma untuk manusia lemah! Kamu harus jadi wanita kuat!” teriakku pada bayi berumur 1 setengah bulan kala itu.

    Aku ingat pernah menjejalinya serbuk pil penenang hanya agar ia tak terus menangis sepanjang hari. Dan aku berhasil saat itu. Aku dapat beristirahat dengan tenang, tanpa harus terganggu suara tangisannya bahkan di malam hari.

    Tak ada yang boleh menyentuh anakku selain aku dan ibuku. Namaku telah dicoret dari daftar keluarga besar Ayah dan juga Ibu.

    Lihat! Bahkan aku berhasil membuat ibuku ikut tersingkirkan dari keluarga besarnya yang kalangan orang terhormat itu. Kasihan Ibu.

    Ibu satu-satunya orang yang pasang badan saat ada orang yang menyakitiku. Tapi, wanita tua sepertinya bisa apa saat harus melawan orang yang punya kuasa tinggi? Ibu satu-satunya orang yang menginginkanku tetap hidup. Meskipun tahu jika kehidupanku tak bedanya neraka bagi diriku sendiri.

    “Wanita sakit jiwa,” kata orang-orang kini menamaiku.

    Kau pasti bertanya-tanya tentang laki-laki itu, bukan?

    Setelah tahapan panjang kasus yang aku bawa ke jalur hukum sendirian itu, aku kalah telak. Lelaki berkulit coklat keemasan itu masih bebas berkeliaran tanpa vonis hukuman apa-apa. Bahkan, ia hanya dibebas-tugaskan sementara dari kesatuannya.

    Setelahnya, lelaki bernama Rey itu tanpa rasa bersalahnya datang kepadaku dengan segepok uang tunai bernilai fantastis. Menyuapku agar aku dan Ibu bisa menutup mulut dan menganggap hal ini tak pernah terjadi padanya. Agar kasus yang bisa mencemarkan dan mengganggu kedudukan keluarganya di dalam kasta pemerintahan, segera kucabut.

    Kau tahu, menolak uang suap darinya pun, tak jadi masalah bagi mereka. Pangkat dan jabatan tinggi dari keluarganya benar-benar memuluskan jalan hidupnya. Sial!

    Aku percaya jika ada surga di telapak kaki ibuku. Pun dengan Ibu dari laki-laki sialan itu. Karena keduanya sama-sama rela melakukan apapun demi anaknya.

    “Memang ini maumu, kan? Menjebak anak saya untuk menghamili kamu. Harta tujuannya. Iya, kan?” kalimat pertama yang keluar dari ibu lelaki itu saat proses aborsi pertama yang aku lakukan atas permintaan keluarganya.

    “Memangnya, kamu tidak pernah mendidik anak laki-lakimu untuk berkata jujur dan tidak menyakiti orang lain?” balasku saat itu. Sebelum akhirnya terkapar lemah akibat tindak aborsi abal-abal yang gagal total.

    Mengakunya orang kaya, mampunya hanya ke dukun bayi abal-abal saja. Cih!

    Tapi tenang saja. Sekarang laki-laki itu sudah mendapat pelajaran yang setimpal. Meskipun harus aku sendiri yang turun tangan.

    Untuk anakku. Maaf, Nak, tak ada jalan ke surga bagimu dari Ibu. Bahkan seujung kuku kaki Ibu saja, tak ada.

    Maka akan Ibu ajak kau menemui Tuhan lebih cepat. Katanya, bayi sepertimu masih tak berdosa, Nak. Mintalah surga langsung kepada-Nya.

    Untuk ibuku. Aku juga membawamu, Bu. Tak mungkin aku membiarkanmu seorang diri di dunia yang semakin dipenuhi oleh monster-monster jahat itu.

    Untuk kalian. Siapa pun yang menemukan surat cinta ini di tangan kalian. Depresi itu tidak sesederhana yang kalian ucapkan. Bukan soal kurangnya iman akibat jauh dari Tuhan.

    Kami tak butuh nasihatmu. Tak butuh belas kasihanmu bahkan sepeser harta pun darimu. Kami hanya butuh didengarkan. Bukan diabaikan.

    Kali ini tolong, jangan hanya meminta anak perempuanmu untuk menjaga diri dan kehormatannya. Tetapi didiklah anak laki-lakimu juga, agar menjadi laki-laki yang mampu bertanggung jawab atas dirinya dan orang lain. Ajari dia untuk menghargai wanita.

    Agar tak ada Sari-Sari lain yang akan kehilangan letak surga di telapak kakinya, bagi anak-anaknya kelak.

    Kuharap, setelah ini kau tak perlu kebingungan mencari-cari diriku. Aku akan membawa anak dan ibuku pergi dari dunia yang isinya banyak dipenuhi orang jahat ini.

    Aku yakin, kau tak akan bisa menemukan tempat persembunyian kami. Ah! Sudahlah. Kali ini saja biarkan aku merasakan istirahat dengan tenang dan nyaman.

    Selamat tinggal.

    ***

    Pukul 2 dini hari, lelaki berusia 36 tahun dengan inisial RF ditemukan tewas bersimbah darah di sebuah kamar hotel. Naas, mayat tersebut ditemukan dalam keadaan tanpa busana dengan bagian organ vital yang telah dipotong habis oleh si pembunuh berdarah dingin.

    Polisi masih menelusuri kasus ini. Kuat dugaan mengarah pada seorang wanita mantan kekasih RF yang menyimpan dendam lantaran ditinggalkan saat hamil di luar nikah.

    Penyelidikan dimulai dan berakhir di rumah milik Sari. Banyak bukti yang memang mengarah ke sana, salah satunya adalah surat tulisan tangan Sari yang ditemukan di atas meja rias bersamaan dengan sebilah mandau di atasnya. Surat yang saat ini telah viral akibat diunggah ke media sosial.

    Bukti-bukti kuat sudah dikumpulkan. Hanya saja, rumah tersebut kosong dan tak ada tanda-tanda kehidupan. Sari menghilang bersama dengan ibu dan anaknya yang masih berumur tiga bulan.

    “Cari wanita itu sampai ketemu! Kerahkan semua anggota kita!” teriak ayah korban yang punya kuasa.

    Sampai saat itu tiba, setidaknya Sari telah berada di tempat yang aman. Lebih tepatnya, ia beserta ibu dan anaknya, telah menempati sebuah rumah baru yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan duniawi yang semu.

    Hanya tinggal menunggu waktu untuk manusia-manusia di luar sana itu menemukan tempat persembunyian Sari.

    ***

    Dewi Yulianti memilih nama halodwyta untuk nama penanya di beberapa platform penulisan. Saat ini berdomisili di Minahasa, Sulawesi Utara. Tergabung di ODOP Batch9.


    1. Baca cerpennya dapat banget emosi Sari
      Ngeri-ngeri sedap

      BalasHapus
    2. Wah, keren sekali tulisannya Mbak Dewi ini...

      BalasHapus
    3. Masyaallah. Terima kasih kakak2 ngodop, udah dimuat tulisannya. Tulisan ini terinspirasi dari kasus pelecehan seksual yg kemarin lg ramai. 😟

      BalasHapus
    4. Bagus banget cerita ini, pedih, perih, sarat makna.

      Aku sampai baca berulang-ulang.

      Kereeeeen.

      BalasHapus