BLANTERORBITv102

    Dari Gunuang Omeh, ke Jalan Lain di Moskow, Menuju Hukuman Mati di Kediri

    Minggu, 15 Agustus 2021

    Dari Gunuang Omeh, ke Jalan Lain di Moskow, Menuju Hukuman Mati di Kediri

    Oleh: Heru Sang Amurwabumi

    Dia terkapar di ujung senapan yang menjadikan tubuhnya tak ubah seperti sarang lebah—penuh lubang, ditembus entah berapa puluh butir peluru. Sesaat sebelum meregang nyawa, air mata membelah sepasang pipinya yang tirus-legam dan mulai keriput.

    “Saya bukan pengkhianat. Saya hanya tak terima ketika orang-orang di Jakarta terlalu kompromi dengan Renville dan Linggarjati!”

    Seminggu sebelumnya, dia semakin masuk ke pedalaman Gunung Wilis ketika mengetahui keberadaannya bersama anggota Gerilya Pembela Proklamasi lainnya sudah diendus para petinggi militer di Jawa Timur. Dia dianggap sebagai duri dalam daging yang akan menimbulkan nanah di tubuh republik yang baru saja berdiri.

    Berpuluh-puluh tahun lalu, dia yang lulusan Rijkskweekschool pernah meninggalkan tanah air demi bisa mengenyam bangku kuliah di Belanda. Sebuah masa yang membuatnya tertarik dengan pengetahuan tentang revolusi. Buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seorang Belanda bernama Horensma yang menjadi pemantiknnya. Dia juga pernah hidup di Moskow, menjadi aktivis hingga berseberang pendapat dengan pemimpin Uni Sovyet.

    Berpuluh-puluh tahun lalu pula, tulisannya berjudul “Tanah Orang Miskin” membuat Pemerintah Kolonial murka. Dia mengkritik keras adanya penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum bumiputera di Sumatera.

    ***

    Begitu daun jendela terbuka, asap pipa tembakau yang semula terperangkap di salah satu ruang markas militer berebutan ke luar, diganti udara sejuk. Kuhela napas panjang, seolah ingin mengisi paru-paru dengan kemurnian udara kaki Gunung Wilis. Berharap hal itu bisa mengurangi rasa pening lantaran seminggu penuh harus bolak-balik Surabaya–Kediri mengawal Komandan Batalyonku yang ikut rapat pertemuan para pemimpin kesatuan.

    Ruang kerjaku menghadap ke barat, ke arah puncak Gunung Wilis. Setiap hari sebelum mulai bekerja, aku memang selalu menyempatkan diri menatap ke luar seperti ini. Di pagi hari, bila pandangan diarahkan ke kiri, aku bisa melihat orang-orang sedang berjalan kaki memanggul cangkul. Anak-anak menggiring hewan gembalaan. Sementara di sisi kanan, tampak kesibukan pagi sebagian tentara penghuni markas militer yang baru kutempati enam bulan ini.

    Dibandingkan dengan bergerilya keluar masuk hutan beberapa tahun silam, markas ini tentu jauh lebih membuat tenang. Aku bahkan mulai ketagihan ikut berpatroli bersama pasukan, menjelajahi desa demi desa. Sambutan orang-orang sangat bersahabat. Kedaulatan penuh sebagai republik yang sudah merdeka barangkali menjadi penyebab para penduduk itu bangga dan menaruh hormat. Meskipun beberapa wilayah Van Mook masih dikuasai pemerintah Kolonial.

    Meskipun juga ada orang-orang yang tidak puas terhadap sepak terjang para petinggi di Jakarta tentang hasil perundingan dengan pemerintah Kolonial.

    Ya, aku sudah mendengar ada gerakan dari orang-orang yang berseberangan dengan Muso, yang kemudian juga menentang diplomasi yang dilakukan para petinggi di Jakarta sebagai usaha mendapatkan kedaulatan penuh atas wilayah republik ini. Tetapi tidak mengira perkembangannya begini jauh dan membuat bingung. Apakah lelaki yang mendirikan Partai Murba itu benar-benar akan memicu pemberontakan besar lagi? Semoga tidak. Kami sudah lelah mengangkat senjata melawan sesama bumiputera. Baru saja setahun peristiwa di Madiun menguras kenyamanan hati setelah bertahun-tahun berperang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

    “Masuk!” kujawab ketukan di pintu. Seorang tentara berpangkat Kopral memasuki ruangan.

    “Sersan diminta menghadap Komandan Batalyon sekarang.” Kopral itu memberi hormat.

    Aku tahu maksud Komandan Batalyon memanggil. Rapat para petinggi militer Jawa Timur yang aku kawal sudah memutuskan bahwa gerakan yang menentang upaya diplomasi dengan pemerintah Kolonial harus dihentikan.

    Dari ruang yang dipenuhi asap lintingan daun tembakau, aku berjalan menyeberangi lapangan yang tak begitu luas, berbelok dua kali, lalu sampai di ruang Komandan Batalyon.

    “Duduklah,” ucap Komandan Batalyon setelah membalas sikap menghormatku.

    “Apa tugas yang harus saya jalankan?”

    Tanpa basa-basi, aku menanyakan tujuan Komandan Batalyon memanggil.

    “Naiklah ke Gunung Wilis. Bawa satu pleton pasukanmu. Mereka sedang bersembunyi di Semen!”

    “Apakah sumber laporan keberadaan mereka bisa dipercaya?”

    “Tentu saja. Suruh dia menyerah baik-baik, atau sekalian tuntaskan jika membangkang!”

    “Saya pertaruhkan kehormatan batalyon kita untuk menyelesaikan tugas ini!” tegasku, lalu kembali bersikap menghormat.

    Diam-diam, aku merasakan kecemasan. Tugas ini jauh lebih berat dibandingkan menghadapi satu kompi pasukan Kapten Adolphinestraat yang pernah baku tembak dengan kelompokku di lembah Gunung Pandan.

    ***

    Rumah di tengah hutan itu lebih pantas disebut sebagai gubuk. Letaknya dari perkampungan penduduk terakhir di pedalaman Gunung Wilis berjarak sekitar tujuh kilometer. Atapnya terbuat dari pelepah pohon tal. Dinding bilah-bilah kulit jatinya hanya memiliki satu jendela saja.

    Pengintaian selama satu malam, cukup menguatkan keyakinanku bahwa orang yang sedang dicari para petinggi militer benar-benar penghuni rumah di puncak sebuah bukit di Gunung Wilis itu.

    Ketika aku menemuinya, dia sedang sendirian. Entah ke mana para pengikutnya pergi. Barangkali sedang menyamar dan turun gunung untuk mencari bahan makanan. Atau bisa saja dia memang sudah ditinggalkan seorang diri di tengah hutan.

    Dia sedang duduk di atas kursi bambu, ditemani setumpuk buku yang ternyata masih sempat dibawa ke tempat sejauh ini.

    Sorot matanya yang tetap tajam dari kelopak yang mulai cekung, menunjukkan tak ada kekhawatiran sedikit pun dari lelaki itu. Meskipun dia tahu, aku tidak sendirian menemuinya. Ya, dia tahu bahwa di luar rumahnya ada beberapa puluh moncong senapan yang sedang membidik dari persembunyian.

    “Tuanku Datuk pasti tahu siapa saya, dengan melihat lencana di dada saya ini,” ucapku membuka percakapan.

    “Ya, saya juga tahu tujuanmu datang ke tempat tinggal saya,” balasnya.

    “Sebaiknya Tuanku Datuk segera berkemas, ikut saya ke Kediri.”

    Kali ini dia tidak menjawab. Mendadak dia membuka halaman demi halaman di sebuah buku yang tergeletak di atas meja kayu. Seperti sedang mencari catatan khusus.

    “Bagaimana mungkin kalian menuduh saya sebagai pemberontak, sedangkan saya sudah jelas-jelas berseberangan dengan idealisme salah kaprah yang diusung Muso?!”

    Ganti aku yang tak bisa menyahut ucapannya.

    “Madilog adalah bukti kecintaan saya kepada republik ini. Salah jika kalian menganggap saya pembangkang hanya karena menentang Sutan Syahrir yang terlalu lunak kepada Belanda,” sanggah lelaki itu.

    “Saya pernah mendengar itu, Tuanku Datuk. Saya juga tahu bahwa Tuanku menjadi bagian tak terpisahkan dari Syarikat Islam, cikal bakal dari gerakan perjuangan republik ini menentang pemerintah Kolonial,” sahutku. “Itu sebabnya, alangkah lebih baik Tuanku Datuk menyerah saja baik-baik. Saya berjanji akan membantu kepulangan ke Minang setelah urusan dengan petinggi-petinggi militer di Kediri dan Surabaya selesai.”

    “Joseph Stalin saja saya tentang habis-habisan di Moskow. Apalagi hanya seorang Komandan Batalyon dan bawahan sepertimu. Kalian ini tak lebih dari tentara bau kencur yang tak pernah paham bagaimana perjuangan saya menebar propaganda terhadap penindasan pemerintah Kolonial sejak di Tanjung Morawa, Semarang, dan Banten!”

    Aku melirik ke arah daun jendela. Tampak empat orang kawan-kawanku yang dari tadi hanya berjaga-jaga di luar, membetulkan letak senapan. Aku tahu, mereka sedang mengarahkannya ke lelaki yang sedang berbicara denganku.

    “Saya mohon mengertilah, Tuanku Datuk. Waktu saya tidak banyak. Saya sangat menaruh hormat kepada para pendiri republik seperti Tuanku Datuk. Namun, saya harus menjalankan tugas ini. Membawa Tuanku menghadap para petinggi militer di Kediri dan Surabaya.”

    “Saya hanya akan tunduk di muka pengadilan. Bukan kepada kesewenang-wenangan petinggi militer. Camkan itu!”

    Laki-laki itu berdiri dari kursi bambu, meninggalkanku tanpa berpamitan. Aku semakin cemas. Antara mengambil keputusan secepatnya, atau membiarkan dia lepas.

    Suara letusan besahut-sahutan menghentikan langkah dan ceracauannya. Aku sangat hapal apa arti letusan itu. Tak mungkin salah, itu pertanda kawan-kawanku telah menarik pelatuknya. Aku sendiri tak ingat, apakah revolver-ku ikut menyalak atau tidak. Tanpa melihat tubuhnya yang bersimbah darah, cepat-cepat kutinggalkan kerumunan.

    Laki-laki dari Nagari Pandam Gadang itu telah rebah di atas tanah. Dia kalah, dia dicap sebagai pengkhianat republik—tanpa pengadilan, tetapi vonis mati tetap dijatuhkan oleh petinggi-petinggi militer republik yang baru berdiri.

    Aku terus berjalan menuju markas militer di kaki Gunung Wilis, Kediri. Belum genap satu kilometer, aku berhenti, lalu berbalik arah menuju puncak bukit tempat laki-laki tadi terkapar. Namun, baru beberapa langkah, lagi-lagi aku memutar arah—berkali-kali hal yang sama terulang. Aku seperti sedang melihat lelaki yang pernah dituduh sebagai Trotskys oleh pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, sedang meringkuk sambil melambaikan tangan memohon ampunan.

    Dalam kecamuk badai kecemasan, aku kembali mengubah arah. Berjalan dengan menggenggam revolver yang telah kehabisan peluru, bukan ke puncak Gunung Wilis, bukan pula ke arah Kediri. (*)

    Heru Sang Amurwabumi. Dewan Penasihat One Day One Post, pernah duduk sebagai Ketua Periode I. Cerpennya, “Mahapralaya Bubat”, mengantarnya terpilih sebagai penulis emerging Indonesia di Ubud Writers & Readers Festival 2019. 

    Catatan:

    Rijkskweekschool= Sekolah Guru Pemerintah di era pemerintahan Kolonial.

    Madilog (Materialisme, Dialekta, Logika) = Karya Datuk Ibrahim Tan Malaka yang berisi gagasan tentang sebuah metode atau cara berpikir yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia.


    1. Pembukaan yang luar biasa serta tokoh tanpa nama hanya disebut pangkat mengingatkan aku pada novel merahnya merah. Cerpen yang ciamik

      BalasHapus
    2. Saat membaca Serasa ikut sebagai pemeran. Masya Alloh luar biasa.

      BalasHapus
    3. Aku baca sambil deg-deg an. Tegang, berasa mengikuti langsunh sambil bertanya -tanya siapakah dia? Kalau Moso di tembaknya kan di daerah Ponorogo.

      BalasHapus
    4. Cerpen yang luar biasa kita yang membaca nya dengan perlahan serasa ikut dalam cerita dan memerankan peranannya di dalamnya. Begitu banyak pengalaman yang didapat pemilihan diksi yang bagus serta pembaca ikut larut didalamnya. Mengesankan sekali. Tak banyak orang yang memiliki keahlian membawa pembaca bisa masuk dalam katya yang kita sajikan.

      BalasHapus