Oleh: Marwita Oktaviana
Jati masih berdiri kaku di samping balai bambu. Rumah ini bukan rumah yang dia rindu. Di dalam kepalanya hanya tersisa kenangan buruk. Sebenarnya rumah itu adalah sebuah rumah kuno yang sangat nyaman, dengan pekarangan luas penuh dengan tumbuhan dan bunga. Tapi semenjak remaja Jati telah dengan sengaja menghindar untuk pulang.
Seorang lelaki tua sedang duduk membelakangi Jati. Tangannya terampil meraut bambu untuk dijadikan tumbu1. Dari mulutnya terdengar lirih gending Sekar Gading rancak memecah sepi.
“Bapak di mana, Mbah?”
Lelaki tua itu menoleh sedikit kaget. Seketika senyum melengkung dari bibir keriput miliknya.
“Kapan sampai, Le? Bapakmu baru saja pergi ke sawah ngrabuk2.”
Dia berdiri dengan tubuh tegak. Bahkan setua itu badannya masih bugar, tidak ada kebungkukan atau nyeri sendi yang dia miliki. Tangannya terulur hendak meraup tubuh Jati dan mengajaknya masuk dalam rumah. Namun, Jati refleks menghindar. Lelaki tua itu menghembuskan napas pelan tahu bahwa cucunya masih belum bisa terima dengan kehadirannya.
***
Sekar gading sekare gading
Gadinge se mayar mayar
Timbang bingung gawe gembira
Ngelingna budayane kuna
Banyumasan bisa gawe suka
Sekar gading sekare gading
Gegandung kawulane
Sekar gading sekare se mayar mayar
Gending calung bernada slendro3 dan pelog4 memecah malam. Empat orang lengger5 terlihat gemulai menarikan tubuh. Pinggul melenggak-lenggok dengan gerakan cepat. Terlihat erotis bagi sebagian orang yang tidak bisa melihat seni yang tertuang dari gerakan-gerakan simbolis keempat penari. Penonton yang berkerumun malam itu tidak hanya lelaki, tetapi juga perempuan dan anak-anak, penuh dan riuh. Terlihat beberapa lelaki mendekati penari dan ngibing6 bersama mereka. Masih babak gambyongan7 dan malam masih panjang. Lengger akan berjalan hingga menjelang pagi.
Gadinge se mayar mayar
Timbang bingung gawe gembira
Ngelingna budayane kuna
Banyumasan bisa gawe suka
Sekar gading sekare gading
Gegandung kawulane
Sekar gading sekare se mayar mayar
Gending calung bernada slendro3 dan pelog4 memecah malam. Empat orang lengger5 terlihat gemulai menarikan tubuh. Pinggul melenggak-lenggok dengan gerakan cepat. Terlihat erotis bagi sebagian orang yang tidak bisa melihat seni yang tertuang dari gerakan-gerakan simbolis keempat penari. Penonton yang berkerumun malam itu tidak hanya lelaki, tetapi juga perempuan dan anak-anak, penuh dan riuh. Terlihat beberapa lelaki mendekati penari dan ngibing6 bersama mereka. Masih babak gambyongan7 dan malam masih panjang. Lengger akan berjalan hingga menjelang pagi.
Menjelang tengah malam Tantri mengalami trans. Penonton bersorak mengetahui itu. Dia menghampiri sesajen8 yang diletakkan di depan panggung dan langsung memakan aneka kembang yang ada di sana. Indhang9 telah masuk dalam tubuhnya. Malam masih panjang dan bisa dipastikan pertunjukan malam ini akan berjalan sempurna.
***
Tantri berjalan menuju belakang panggung. Kemben yang dia kenakan terlihat membumbung. Bukan oleh buah dada tapi banyaknya uang sawer yang dia peroleh dari para lelaki yang ikut ngibing bersamanya. Tubuhnya dipilih oleh indhang lengger sejak masih anak-anak. Berbekal itu Tantri lantas memantaskan diri menjadi penari lengger dengan menjalani berbagai ritual. Seperti puasa mutih, tidur di depan pintu setiap Selasa dan Jumat Kliwon, serta puncaknya semadi dan mandi di 7 sumur yang menjadi tempat semadi lengger.
Karirnya melesat, berbagai panggung di seluruh wilayah Banyumas telah dia lakoni. Sebagai penari, dia adalah primadona. Kemunculannya selalu ditunggu dan bisa dipastikan setiap tampil penonton selalu membludak. Gemulai tubuh dan atraksi saat trans selalu mampu membius para penonton.
***
“Mulai besok Mbah akan tinggal di rumah kita.”
Kata-kata yang diucapkan Bapak menampar Jati. Bukan sebab Jati tidak sayang pada simbahnya, tetapi apa yang melekat pada simbahnya yang tidak bisa dia terima. Jika hanya untuk berbakti, selama ini Jati masih sering menyambangi dan membawakan keperluan Simbah di tempat tinggal lamanya. Tetapi untuk tinggal serumah masih ada ganjalan dalam hati.
“Putune10 PKI!”
Kata-kata yang terucap dari bibir para tetangga tak pernah bisa Jati lupa. Membuatnya harus melakoni hidup di masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan. Hanya karena olok-olokan itu dia dijauhi teman-temannya karena takut dan risih. Sebab itu dia merasa sedikit tidak suka pada simbahnya.
Apa yang diucapkan Bapak adalah titah. Dan Jati memilih menyingkir sejauh dia bisa. Trauma masa kecil itu tidak hilang begitu saja.
***
“Seminggu lagi kita pentas di Purwokerto.”
Tantri mau tak mau tersenyum mendengar kata-kata salah satu penabuh calung yang biasa mengiringi tariannya. Melakukan pertunjukan di pusat kota adalah sebuah kehormatan yang lama dia tunggu. Menari di sana akan melambungkan namanya semakin tinggi. Pejabat dan orang-orang penting akan ikut menyaksikan.
***
Tantri baru memulai babak ebeg-ebeg11 saat terjadi keributan yang membuat penonton lari tunggang-langgang menampakkan panggung yang tadinya rapat tertutup manusia. Tantri berusaha melanjutkan tarian sambil matanya menyasar kejauhan ingin tahu apa yang terjadi.
Suara tembakan yang terdengar tiba-tiba sontak membuat seluruh manusia yang ada di tempat pertunjukan kocar-kacir menyelamatkan diri, begitu juga dengan Tantri dan teman-teman penari. Dengan sangat cepat beberapa lelaki meringkus penari dan pemain calung yang sedang melakukan pertunjukan.
Tantri membuka mata pelan-pelan. Tubuhnya terasa ngilu di beberapa bagian. Saat matanya sudah beradaptasi dengan kondisi sekitar, barulah dia sadar sedang berada di satu ruangan bersama dengan ketiga penari lainnya. Kondisi ketiganya tak lebih baik darinya.
***
“Apa hubunganmu dengan Djoko Pekik?”
Satu tentara garang dengan todongan senapan tepat di dahi Tantri memaksanya untuk menjawab pertanyaan yang Tantri tidak paham apa. Siapa pula Djoko Pekik? Tantri mau tidak mau merasakan bermacam siksaan agar mau menjawab seperti apa yang mereka kehendaki. Namun, Tantri bersikeras menggeleng. Dia sama sekali tidak tahu apa-apa.
Setelah seminggu dalam sekapan, seorang tentara yang mengidolakan Tantri menyelundupkannya keluar. Seluruh seniman di Indonesia sedang di-sweeping oleh TNI karena dituduh berkaitan dengan Lekra.
***
“Mbah mbenjing saget tumut kula ten pendapa?”12
Jati menemui Simbah di samping rumah. Lelaki tua itu memandang bingung. Tetapi tetap berdiri dan mengiyakan. Tanpa Simbah tahu Jati sebenarnya sudah bisa memaafkan meski butuh waktu lama. Jati sadar bahwa bukan salah Simbah, tetapi kesalahpahaman yang membuat semuanya menjadi hitam dalam sejarah.
Lelaki tua itu terduduk, tangannya membekap mulut. Wajahnya meriakkan kaca-kaca. Di pendapa itu telah lengkap gamelan calung dan pemainnya. Serta tiga orang berdiri lengkap dengan kostum tari. Jati menuntun Simbah ke dalam. Di sana telah tersedia sepaket lengkap pakaian tari.
“Mangga, Mbah, diagem. Jati kepingin mirsani Simbah nari.”13
Kata-kata Jati menjadi pemicu air mata yang jatuh dari mata tua lelaki itu. Ada haru yang tersirat dari tetes-tetes air mata itu.
Sore itu Tantri kembali hadir dalam balutan kostum penari. Menarikan babak-babak lengger dengan gemulai. Telah puluhan tahun tubuh itu tidak lagi bisa menari. Rapat menyimpan identitas diri untuk menjauh dari kejaran para tentara. Menghabiskan hidup dengan merindukan panggung dan menjadi penggarap lahan.
Sore itu Jati mampu mengerti bahwa tubuh Simbah adalah tubuh penari. Lelaki yang malih rupa14 menjadi perempuan utuh saat panggung memanggil. Tidak ada lagi laki-laki atau perempuan, yang ada hanya satu tubuh yang menyatu bersama Manunggaling Gusti15.
***
Tumbu1 (Jawa): wadah dari bambu yang dianyam berbentuk kotak.
Ngrabuk2 (Jawa): memberi pupuk pada tanaman.
Slrendro3 , pelog4 : bentuk laras yang dipakai pada tembang-tembang Jawa.
Lengger5: jenis tarian khas Banyumas yang dimainkan oleh penari laki-laki yang berdandan seperti perempuan.
Ngibing6 (Jawa): menari bersama penari.
Gambyongan7 : salah satu babak dalam tari lengger yang merupakan babak pembuka.
Sesajen8 (Jawa): sesaji atau persembahan yang diberikan saat acara atau upacara kejawen.
Indhang9 (Jawa): roh halus
Putune10 (Jawa): cucunya
Ebeg-ebeg11 : salah satu babak dalam tari lengger, merupakan babak ketiga sebelum penutup.
Mbah, mbenjing saget tumut kula ten pendapa?12 (Jawa): Kek, besok bisa ikut saya ke pendapa?
Mangga, Mbah, diagem, Jati kepingin mirsani Simbah nari13 (Jawa): Mari, Kek, dipakai, Jati ingin melihat Kakek menari.
Malih rupa14 (Jawa): berganti wajah
Manunggaling Gusti15 (Jawa): Tuhan Yang Maha Esa.
Marwita Oktaviana lahir dan besar di Lamongan. Anggota komunitas menulis ODOP angkatan 7. Untuk berkenalan lebih jauh bisa di akun instagram @marwita_oktaviana atau di www.witaksara.com.
0 apresiasi