BLANTERORBITv102

    Ada Rindu di Tumpukan Botol Bekas

    Senin, 15 Februari 2021

    Oleh:
    Riana

    Zǎo ān.
    1” Sapa seorang perempuan paruh baya dengan gerobak sampahnya.

    Zăo
    2, Āyí,3” jawabku.

    Aku menjumpai perempuan paruh baya itu setiap pagi ketika hendak membeli atau sepulang dari membeli sarapan. Aku selalu menjumpainya sedang memunguti botol-botol kosong di taman dekat rumah sakit tempatku bekerja, terkadang juga menjumpainya di tengah hari ketika dia sedang memakan nasi kotak pemberian orang-orang sekitar. Jauh sebelum ini, aku tak tahu siapa dia, yang aku tahu dari orang-orang bahwa dia hidup seorang diri di daerah Ren'ai Rd yang tak jauh dari rumah sakit.

    Dua kali dalam sehari aku selalu menjumpainya, berjalan terseok memunguti sampah dan plastik yang dapat didaur ulang. Ada sesuatu yang membuat dada ini sesak setiap kali melihatnya, keterbatasan dalam dirinya bukan sebuah alasan untuk dia bermalas-malasan. Kulit tubuhnya yang sawo matang dan rambut pendek pas telinga yang memulai memutih, ditambah tubuh kurusnya yang terkadang tanpa sadar membuat netra ini basah. Sempat aku bertanya namanya dan dia memberitahu marganya, Zhu.

    Zhu Āyí, apakah Anda sudah makan?” tanyaku basa-basi.

    “Belum, masih belum lapar. Kamu orang Indonesia?” jawabnya.

    “Iya. Saya orang Indonesia.”

    “Sudah berapa lama bekerja di rumah sakit itu?”

    “Sudah dua tahun lebih,” jawabku. “Āyí, di kamar saya banyak sekali botol-botol kosong. Apakah Anda mau mengambilnya?”

    “Boleh, nanti saya ke sana. Kamu di kamar nomor berapa?”

    “Saya di lantai tiga kamar nomor 305, dekat dengan ruang jaga perawat.”

    “Baiklah nanti saya akan ke sana,” ucapnya dengan penuh semangat.

    “Atau, nanti saya taruh saja di tempat satpam dan saya titipkan untuk Anda.”

    “Itu jauh lebih baik, Xiăojiě
    4. Xièxiè.5

    Hatiku terasa perih melihat senyum bahagianya karena akan mendapatkan banyak botol-botol bekas. Senyuman itu begitu mirip dengan senyuman nenek yang telah gagal aku perjuangkan. Tak terasa mataku membasah, merindukan sosok nenek yang telah merawatku sejak usia tujuh bulan hingga aku dewasa. Dan aku tergugu teringat segala perjuangan nenek dalam membesarkanku. Harusnya aku tidak meninggalkannya ketika tubuh rentanya tergolek lemah tak berdaya karena sakit, hingga akhirnya nenek meninggalkan aku untuk selama-lamanya.

    Nenek meninggal setelah satu tahun aku sampai di Negeri Formosa ini dan sampai detik ini aku belum pulang walau hanya sebentar untuk mengunjungi makamnya. Bukan tanpa alasan kenapa aku tidak bisa pulang, kontrak kerja yang masih mengikatku harus tetap bertahan di sini. Ingin sekali pulang, tapi beban keluarga telah bertengger di bahu ringkihku. Aku harus tetap bekerja, memenjarakan diri pada rindu yang hampir setiap saat menjebolkan benteng kekuatan. Rasa bersalah pada nenek seringkali membuat diriku seakan tak berguna sebagai cucu kesayangannya. Dari Zhu Āyí aku bisa melihat senyum nenek kembali, dari botol-botol bekas ada rindu yang selalu ingin aku sampaikan untuk nenek di surga.

    Senja itu, Zhu Āyí terseok menarik gerobaknya. Aku melihatnya dari atas, mengintip dari jendela kamar. Lalu, bergegas untuk turun menemuinya dan membawakan seplastik buah-buahan untuk dia bawa pulang.

    Āyí, ini ada buah untuk Anda.” Aku memberikan bungkusan itu.

    Lalu, membantunya memasukkan botol-botol bekas ke dalam karung dan menumpuknya di dalam gerobak.

    Āyí tinggal di mana? Anak dan suami Anda di mana?” tanyaku basa-basi.

    “Saya punya satu anak perempuan dan sekarang ikut suaminya ke Taichung, sementara suami saya sudah lama meninggal.”

    “Oh, maaf kalau pertanyaan saya membuat Anda sedih.”

    “Tidak apa-apa.”

    Taichung adalah sebuah Kota Kabupaten di Taiwan bagian tengah. Sementara rumah sakit tempatku kerja adalah di Taipei, ibu kota Taiwan yang berada di bagian utara Taiwan. Cukup jauh antara Taichung dan Taipei, yaitu tiga jam perjalanan menggunakan bus dan empat jam menggunakan kereta lambat, empat puluh lima menit menggunakan kereta listrik yang harga tiketnya tiga kali lipat. Dan Zhu Āyí tinggal sendirian di sini. Anaknya jarang sekali datang sekedar menjenguk, hanya tiga atau empat bulan sekali datang.

    Hampir tiga puluh menit percakapanku dan Zhu Āyí, terasa begitu akrab. Aku merasa kembali menemukan senyum nenek meskipun kini nenek telah benar-benar pergi menghadap Gusti Sang Maha Urip untuk selama-lamanya.

    Awal Januari. Di mana di bulan ini adalah puncak dari hawa dingin, musim dingin di Taiwan terjadi antara bulan Desember hingga Februari. Dan di mana bulan ini puncak paling dingin di tahun ini, bahkan di berbagai titik pun terjadi turun salju setelah beberapa tidak ada turun salju. Sudah sepekan aku tidak melihat Zhu Āyí baik ketika pagi atau tengah hari, ada kekhawatiran yang tiba-tiba mengusik tenang dan ada rindu juga pada senyumnya yang seakan aku telah kembali menemukan senyum nenekku sendiri. Ada ketakutan yang terus bergejolak di batin, bagaimana kalau dia kedinginan dan tidak punya makanan. Ingin kupergi mencarinya, akan tetapi harus ke mana untuk bisa menemukannya?

    Akhirnya aku memberanikan diri pergi ke taman biasa Zhu Āyì beristirahat untuk sekedar melepas penat atau menyantap makanannya. Taman itu tak begitu jauh dari rumah sakit, hanya berkisar seratus tiga puluh meter. Sudah hampir satu jam menunggu, aku tak melihat perempuan paruh baya itu. Mencoba untuk bertanya pada Shūshu
    6 yang berjualan năichá7 dekat taman.

    “Permisi Shūshu, apakah Anda melihat Zhu Āyí di mana?”

    “Oh, kamu mencari Zhu Āyí? Dia sudah berapa hari ini dibawa ke rumah sakit,” jawabnya.

    “Dia kenapa? Apakah sakit?” tanyaku panik.

    “Dia terserempet sepeda motor ketika hendak pulang ke rumahnya.”

    “Rumah sakit mana, Shūshu?”

    “Di rumah sakit Taipei Veterans General Hospital. Kamu bisa mencarinya di sana,” ucapnya.

    Xièxiè Ni, Shūshu.

    Tanpa menunggu lama, aku segera bergegas untuk menghentikan taksi di pinggiran taman. Meski harus mengocek kantong yang lumayan karena jarak yang lumayan jauh juga, 400NTD, tapi itu bukan sebuah alasan untukku tidak mencarinya.

    Setelah hampir empat puluh lima menit, aku pun sampai di depan rumah sakit yang berada di daerah Beitou District, Taipei City. Berharap bisa menjumpainya setelah hampir sepekan tidak melihat senyum dan semangatnya. Aku melihatnya terbaring lemah dengan memar di beberapa bagian tubuhnya. Lagi lagi aku kembali teringat tubuh kurus nenek, nenek yang tidak bisa aku temani di hari terakhirnya.

    Āyí, apa Anda sudah makan dan minum obat? Apakah sudah ada perubahan?”

    Xiăojiě, terima kasih sudah mau repot-repot datang menjenguk. Kamu sama siapa dan tahu dari mana saya di sini?”

    “Saya tadi ke taman dan hampir satu jam meunggu Anda, tetapi tidak sedikit saja menemukan bayangan Anda. Lalu, saya bertanya pada paman penjual teh susu dekat taman dan dia memberitahu bahwa Anda di sini.”

    “Ah… Xiăojiě, saya kan sudah tua jadi pendengaran saya kurang. Saya terserempet sepeda motor dan itu salah saya,” ucapnya lagi.

    Akhirya aku memberanikan diri bercerita panjang lebar tentang nenek. Ia hanya mengangguk-angguk mendengar ceritaku. Senyum itu yang dapat mengobati kerinduan pada nenek meski hanya sedikit, sebab bagaimanapun rindu tetaplah rindu dan bagiku merindukan raga yang sudah tak bernyawa adalah takdir yang tak dapat secuil saja aku tawar. Aku bercerita layaknya bercerita pada nenek sendiri, canda tawanya telah menghapus kecemasanku selama sepekan ini.

    Āyí, apakah anak Anda sudah tahu dan datang menjenguk?” tanyaku.

    “Dia besok akan datang dan saya akan dibawa pulang bersamanya ke Taichung.”

    Sejenak diam, ada mendung yang aku tangkap dari sorot matanya. Pun denganku yang tiba-tiba ada rasa takut akan kehilangan. Tapi, ini adalah keputusan terbaik untuknya. Dan aku hanya bisa pasrah menghela napas panjang mendengar kabar itu. Zhu Āyí bilang padaku bahwa kematian pasti datang, dia juga bilang bahwa tidak ada yang salah dengan kematian dan ketidakberdayaanku yang tidak bisa menemani hari terakhir nenek.

    Senyum nenek ada pada senyum Zhu Āyí. Meski pada akhirnya aku pun benar-benar kehilangan senyuman itu. Ada setumpuk rindu setiap kali aku menatap tumpukan botol-botol bekas yang sengaja aku kumpulkan dan terkadang hanya kutitipkan pada satpam, entah siapa yang kini mengambilnya. Aku hanya berharap semoga Zhu Āyí selalu sehat, panjang umur dan bahagia bisa berkumpul dengan anak cucunya. Meski tanpa hubungan dan ikatan apa-apa, rindu itu tetap saja mengusik tenang. Sebab, untuk peduli pada sesama pun tidak butuh status atau hubungan darah, bukan?[]

    Taiwan, 10 Februari 2021

    1Zǎo ān__Selamat pagi
    2Zăo___Pagi
    3Āyí___Bibi
    4Xiăojiě___Nona
    5Xièxiè___Terima kasih
    6Shūshu___Paman
    7năichá___teh susu

    Riana Wanita kelahiran kota telur asin, penikmat kopi pahit yang sekarang berteduh di bawah langit Formosa ini juga seorang pegiat literasi di RRI dalam program Guratan Pena, beberapa karyanya juga pernah dimuat di beberapa koran dan majalah. Anggota ODOP Batch 7 ini juga pernah menjadi juara 2 pada event 'Ayah' yang diselenggarakan oleh KPKers Taiwan. Untuk menghubunginya bisa melalui email: rianawadhari@gmail.com dan di nomor +886958739952 FB: Ndhuk Wulan, IG: @bakulbrambang_11