BLANTERORBITv102

    Istana

    Selasa, 15 Desember 2020

    Oleh : Suden Basayev

    Jakarta. Dulu emakmu ini hanya tahu sekedar mendengar namanya disebut orang. Dan setiap orang yang merantau ke sana pasti pulang memamerkan segala kemewahan. Aku muda pernah merasa kepengin untuk ke sana. Tak pernah kesampaian. Aku adalah penghuni sejati kampung kecil kelahiranku. Kampung yang kucintai jiwa raga. Tapi sekarang, aku terdampar di sini. Di kota besar yang hawanya panas seperti neraka. Ah ... neraka? Bukankah di sini aku berada di istana? Segala ada. Ini adalah istanamu. Tempatmu menikmati bahagia bersama pangeranmu, menantuku yang aku tahu sangat menyayangimu, Nduk.

    “Emak harus ikut ke Jakarta. Mau ya, Mak?”

    Mata kuyuku menatap permohonanmu, Nduk.

    “Iya, Mak. Emak belum sekali pun berkenan kami ajak ke Jakarta.”

    Mataku beralih memandang wajah Priyo, mantuku. Sopan, penuh takzim padaku, yang senantiasa membuatku sangat rida kau dipinangnya, Nduk. Tapi aku belum mampu menggerakkan bibir.

    Aku sudah tua, tak terbayang perjalanan begitu jauhnya. Itulah mengapa tak sekali pun kuiyakan ajakan kalian ke rumah tinggal kalian.

    “Saya sudah membicarakan hal ini pada Mas Wahodo dan Mbakyu Saniyah, Mak.” Kau mengguncang perlahan lenganku, ada nada penuh harap. “Emak sudah sepuh, Mas Wahodo dan Mbakyu Saniyah juga sudah jarang kemari, kan?”

    Mataku berair, Nduk. Wahodo sulungku yang selama ini merawatku sudah sangat repot sejak Jiyem meninggal kena wabah demam berdarah. Sepeninggal istrinya, ia makin sibuk mengurus anak-anak. Dan kudengar ia dapat pekerjaan di luar kota kecamatan. Aku tak menyalahkannya.

    Saniyah, mbakyumu, kau sendiri tahu wataknya. Ia satu-satunya anakku yang mbalela, barangkali karena pengaruh keluarga suaminya yang juragan palawija itu, sangat tidak memperhatikanku. Ah, sudahlah, aku tak suka membahasnya.

    Pawestri, kau anak bungsuku yang kuanggap paling beruntung karena dipinang Priyo. Keberangkatanmu merantau ke Jakarta yang awalnya sempat membuatku hampir gila, yang kubayangkan ketakutan karena kau tak pernah jauh dariku, harus ke tanah orang jauh sana. Bagaimana kalau terjadi apa-apa denganmu nantinya, Nduk? Tapi Gusti Allah melindungimu. Semua baik-baik saja, bahkan kau pulang membawa calon suamimu yang sedemikian santun dan ... dan kaya, Nduk.

    “Emak ndak perlu mikir apa-apa, di Jakarta Emak tinggal bersantai, tiap hari bisa bermain dengan Nadia, cucu Emak.”

    Sesungguhnya aku belum mengiyakan apa-apa saat akhirnya, dua hari setelah kalian membujukku ikut, aku sudah bersama kalian naik mobil suamimu meninggalkan jauh kampung jiwa-ragaku, menuju ke sebuah tempat yang selama ini hanya bisa kulihat di televisi hitam-putih peninggalan bapakmu.

    Perjalanan yang sangat merepotkan kalian. Maafkan emakmu yang sangat kampungan ini, Nduk. Aku mabuk kendaraan, teler berat. Rasanya mau mati saja aku, Nduk. Tapi betapa sabarnya kau dan Priyo mengurusiku di perjalanan. Meski harus berkali-kali beristirahat untukku.

    Dan kini ... Inilah Jakarta.

    Pawestri, anakku yang dulu kutimang-timang, ternyata tinggal di sebuah istana megah. Rumah mewah penuh perabot mengilap dan mahal, tak kusangka aku pun akan turut menyinggahinya sebelum akhir ajalku menjemput.

    Kau dan suamimu memperlakukanku sangat baik. Tak ada sedikit pun perlakuan buruk atau kasar. Nduk ... kurasa kau adalah satu-satunya perempuan kampung yang paling beruntung mendapatkan pasangan seperti Priyo ini. Aku serasa tak percaya. Istana, aku tinggal di istana. Selain kau dan Priyo serta Nadia cucuku yang sudah sekolah TK, ada beberapa orang rendah hati juga yang membantu segala pekerjaan rumah di istana ini. Mereka para pembantu yang juga ramah dan sangat ikhlas bekerja. Ini benar-benar istana, Nduk.

    Tapi ada sedikit masalah, Pawestriku. Kuharap ini benar hanya masalah sedikit yang tidak akan menjadi bukit. Kau tak tahu, bukan, bahwa aku mendadak teringat apa yang selama ini menjadikanku ujud. Aku ingat gubukku di kampung, Nduk. Aku ingat semuanya, lantai tanah yang pasti basah lembek saat musim penghujan. Kambingku yang tinggal betina seekor yang akhirnya kutitipkan ke Wahodo. Nduk, aku ingat kebun pekarangan belakang yang kutanami batang singkong dan daunnya bersemi, aku suka memetiknya untuk sayur. Ah ... semua itu membuatku serasa ingin pulang.

    Oh ... pulang? Mungkinkah? Tentu kekonyolan ini hanya akan merepotkanmu. Tidak, aku tidak boleh menuruti perasaan konyol ini. Apa yang kupermasalahkan dengan keberadaanku di sini sekarang? Semua serba sedia, perlakuan yang menyenangkan, dan tentu tak ada lagi kesepian kala malam menjelang sebagaimana setiap kali gubukku diselimuti sayap malam yang kelam dan hening berteman jengkerik.

    Aku tidak kesepian lagi di sini. Seharusnya. Di sini ada kau, Nduk. Menemaniku setiap waktu. Di sini banyak teman bicara. Para pembantumu yang sopan-sopan dan selalu siap memenuhi mauku. Apa yang membuatku ingin pulang? Tidak. Aku tidak ingin pulang.

    “Mak melamun?” Suaramu mengejutkanku.

    Lekas aku tarik ujung bibir. Tersenyum padamu. “Tidak, Nduk, Emak hanya ... hanya ndak menyangka saja, ternyata nasibmu bisa berubah jadi seperti ini. Sama sekali Emak ndak menduga jika akhirnya kau tinggal di istana semegah ini.”

    Kau tersenyum. “Emak bilang itu lagi? Sudah sejak sampai di rumah ini, Mak sudah mengatakannya. Bukankah segala yang ada ini sudah diatur oleh Allah?”

    “Itulah ... Emak rasanya ndak habis pikir.”

    “Sudahlah, Mak. Pawestri harap, dengan keadaan seperti ini Emak merasa senang tinggal di sini. Saya akan sangat bahagia jika Emak benar-benar kerasan.”

    Kerasan? Apa aku merasa kerasan, Nduk? Kuharap juga begitu. Kau sudah berbesar hati membawa Emak kemari, kau tak tega Emak hidup sendirian di gubuk Emak. Ya, aku harus kerasan, Pawestri....

    Dan, saat malam tiba. Saat semua nyawa di istanamu ini sudah terlelap, aku terjaga sendirian. Tak ada suara jengkerik. Bahkan suara tikus saling kejar di blandar atap rumah tak kudengar lagi. Di sini juga tak ada kokok jago saat fajar menjelang. Gusti..., mengapa aku merindukan semua itu?

    Pawestri, anakku. Belum genap sebulan aku tinggal bersama keluargamu. Segala serba ada ini mengapa rasanya tak mampu menggantikan suasana serba sendiri di gubuk Emak?

    Apa aku benar-benar tidak kerasan? Aku tak berani mengatakan hal ini padamu. Tidak, Nduk. Jauh-jauh kaubawa aku kemari, tidak mungkin begitu saja aku minta pulang. Dan ... Duh, Gusti ... mengapa ini, mengapa mata tuaku basah menganak sungai?

    Paginya, ketika mengambil air wudu, kurasakan guyuran air keran begitu dingin. Aku menggigil. Aduh ... kepalaku berat, pening sekali. Dua rekaat Subuh terasa berat didekap gigil dan denyut di kepalaku. Kelar salam aku bersegera membaringkan diri di atas pembaringan empuk yang kausediakan untuk tidurku, Nduk.

    “Sarapan sudah siap, Mak. Ayo kita makan bersama.”

    “Ooh, Pawestri. Maaf, Nduk, Emak nanti saja sarapannya.”

    Kau lekas mendekatiku, duduk di sisi pembaringan. Kurasakan tanganmu menyentuh keningku. “Astagfirullah, Mak, badan Emak demam. Panas sekali. Mak sakit?”

    Ah, aku akan membuatmu repot, Nduk. “Aku ndak apa-apa, Nduk.”

    “Tunggu, Mak, Pawestri ambilkan sarapan. Setelah perut Emak kemasukan nasi, barulah Mak saya minumkan obat demam.”

    Kau bergegas. Tak lama, kau sudah memaksakan sesendok nasi untuk kutelan. Pahit rasanya di lidah, tapi aku menurut, kutelan juga meski susah. Aku tidak boleh sakit, karena itu akan merepotkanmu, Pawestri.

    Sebelum berangkat ke kantornya, Priyo sempatkan menengokku. “Emak istirahat saja. Saya rasa Emak hanya perlu adaptasi dengan suasana dan hawa kota yang jauh berbeda dengan di kampung.”

    Syukurlah, siangnya badanku sudah enteng lagi. Kepalaku sudah tidak pening. Pawestri, kau sangat perhatian padaku. Semoga Gusti Allah selalu menyayangimu, Nduk. Juga Priyo, semoga kekayaannya barakah ya, Nduk.

    Sore yang cerah. Aku mendekati Mang Mamat yang sedang mencuci mobil di halaman. Melihatku, lelaki separuh baya itu lekas menyapa. “Emak sudah sembuh? Istirahat saja, Mak, jangan keluar kamar dulu.”

    “Ndak apa-apa, Mang. Saya sudah sehat, kok. Saya pengin lihat suasana di luar.”

    Aku menuju pintu regol. “Emak mau ke mana?”

    “Cuma lihat depan rumah sini, Mang.”

    “Hati-hati, Mak, jangan pergi jauh-jauh.”

    “Iya, Mang.”

    Sebenarnya di luar regol bukan pemandangan indah sebagaimana yang terpampang di kampung. Tak ada suasana sore yang sejuk. Tak ada udara yang segar. Yang menyambutku debu kota yang tercemar. Istana Priyo dekat jalan besar yang ramai sekali. Kendaraan berebut dulu.

    Kakiku melangkah, siapa tahu ada kesejukan suasana yang bisa kudapat. Tak terasa aku sudah di halte tak jauh dari regol depan istana Priyo.

    Uhuk, uhuk!” Tiba-tiba aku terbatuk-batuk. Segumpal asap yang disemburkan metromini yang melintas mengganggu napasku. Ah, tak ada pohon penyejuk di sekitarku. Lekas aku menyingkir.

    Jakarta. Seperti inikah surga para perantau? Yang kujumpai orang-orang cuek. Mereka tak saling peduli. Tak satupun yang kukenal. Tak ada saling sapa seperti di jalanan kampungku. Mengapa kau betah di kota besar seperti ini, Pawestri?

    Mungkin kau betah karena tinggal di istana serba ada, Nduk. Astaga ... istana? Mana jalan kembali ke istanamu, Pawestri? Aduh, mengapa aku lupa jalan yang tadi kutempuh? Anakku ... apa aku tersesat?

    Senja turun di langit ibu kota. Kesibukan masih meramaikan suasana. Dan mendadak aku sangat merindukan istanamu, Nduk. Mana jalan yang tadi kutempuh? Mengapa aku sepikun ini? Pawestri ... Priyo ... Kalian pasti repot mencariku. Maafkan aku ... maafkan aku ....

    ***

    Suden Basayev bernama asli Wakhid Syamsudin berumah di www.coretanbasayev.com