BLANTERORBITv102

    Suliman

    Minggu, 15 November 2020


    Deretan pohon bambu di belakang rumahnya berderak. Daunnya yang menguning berguguran. Suliman mengamati pohon bambu itu dengan mata menyalak, jengkel. Tiap sore, yang seharusnya indah karena langitnya berubah lembayung, kini menjadi hal yang paling dibencinya karena ia harus membersihkan seluruh pekarangan dari dedaunan yang jatuh. Dan ia tahu pekarangan itu bukan miliknya atau emaknya, tapi milik juragan kerbau di desanya. Hanya saja pekarangan itu tepat berhimpitan dengan rumah reyotnya. Ia juga seringkali heran mengapa emak peduli dengan pekarangan orang. Tak ada untungnya, pikirnya.

    Emaknya selalu berteriak nyaring jika Suliman bermalas-malasan dan tak mau menyapu pekarangan. Usai menyapu dan membakarnya dengan berapi-api ia akan termenung di depan perapian yang ia buat. Tanpa ia sadari, lama-lama kebiasaannya menunggui dedaunan terbakar habis cukup efektif untuk membunuh waktu senjanya, hingga maghrib. Biasanya, azan Maghrib mengudara bersamaan dengan daun bambu terakhir yang terbakar menjadi serpihan abu. Ia akan merasa berjelaga setelahnya, tapi ia puas karena waktu berlalu.

    Saat itu pula Suliman akan segera beranjak ke langgar tempat ia mengaji waktu kecil dulu. Terkadang ia malas dan jenuh berpura-pura rajin ke langgar untuk sembahyang. Tapi emaknya selalu semangat menyuruhnya ke langgar dengan suaranya yang cempreng,  “Sembahyang ke langgar, rajin jamaah, biar berkah.”

    Berkah! Kata yang selalu ia duga-duga apa maknanya. Kenapa emaknya suka sekali dengan kata itu. Apapun pekerjaan, kegiatan, aktivitas yang menurut emaknya baik pasti berujung dengan satu kalimat “biar berkah”. Namun arti kata misterius itu belum juga terpecahkan oleh otak lulusan SD-nya. Ia tak pernah bertanya ke orang lain tentang keingintahuannya. Ia sangsi, mereka juga sama-sama tak tahu.

    Dulu. Waktu kecil ia suka bertanya ke emaknya tentang apapun yang ingin ia ketahui. Tapi emaknya selalu menyuruhnya bertanya pada Pak Ustaz Ahmad, guru ngajinya. Namun sekarang bahkan anak-anak mengaji pun tak pernah ada. Entah apa yang dilakukan anak-anak zaman sekarang. Suliman juga tak pernah tahu lagi siapa yang menjabat sebagai Pak Ustaz saat ini. Setelah Pak Ustaz Ahmad berpulang, tak ada seorang pun yang mau memangku jabatan itu. Tak ada lagi yang mengajari anak-anak mengaji. Mungkin karena tak menghasilkan uang. Atau karena tidak ada yang layak?

    ****

    Pagi sehabis Subuh, Suliman akan berjalan kaki ke sungai di ujung desa, 4 km ke arah barat. Sesampainya, sembari menyesap kretek, ia menyiapkan peralatan sederhananya. Ia akan mendulang pasir kali saat semburat fajar mulai merekah. Mengumpulkannya menjadi gundukan pasir, persis seperti gunung. Karena tubuhnya yang kerempeng bawaan lahir, ia baru bisa membuat gunungan pasirnya meninggi setelah tiga sampai empat hari bekerja ekstra. Tidak seperti rekannya satu profesi yang hanya membutuhkan waktu dua atau bahkan satu hari. Emaknya sering mengomel karena perbedaan yang signifikan ini. Suliman sering dianggap pemalas.

    Setelah pasir menggunung, supir-supir mobil bak atau truk dari desa lain yang jaraknya cukup jauh akan mendatanginya dan melihat pasirnya. Tanpa tawar menawar langsung membayar dan membawa pasirnya ke kota. Menjualnya ke para juragan toko material bangunan atau langsung pada orang-orang yang memesan.

    Banyak pemuda desanya dan desa tetangga yang juga menjadi penambang pasir tradisional. Pemuda lain yang lebih ambisius meninggalkan desa dan mencari peruntungan ke kota. Namun sejauh yang Suliman tahu, tak banyak yang membawa kabar gembira. Hanya Jono, teman sepermainannya sewaktu kecil dulu yang menurutnya berhasil, karena bisa membeli beberapa petak sawah, tanah, motor, mobil dan emas istrinya bergelantungan di sekujur tubuh. Sayangnya tak ada yang tahu pasti apa pekerjaan Jono.

    Kadang Suliman iri dengan Jono. Ia ingin ke kota. Jono wannabe. Tapi tiap kali ia mengutarakannnya ke Emak untuk mencari rezeki yang lebih berkah–Suliman sengaja menekankan suaranya pada kata berkah–emaknya selalu menjadi melankolis dan raut mukanya tampak begitu sedih tanpa dibuat-buat.

    “Apa kamu sudah tidak mau mengurus emakmu yang sudah tua renta ini, Le?” tanya emaknya dengan mata berkaca-kaca ketika suatu waktu Suliman benar-benar berniat meniggalkan desa. Karena pertanyaan itu, sampai sekarang Suliman tetap tinggal, mengurungkan niatnya. Takut menjadi anak durhaka. Meski sebenarnya keinginannya tetap kuat bahkan menggelora di alam bawah sadarnya.

    ***

    Dua puluh empat jam waktu berputar tanpa ada jeda. Suliman semakin bosan dengan rutinitas hariannya. Bosan dengan harga rendah yang ditetapkan para pemilik mobil bak dan truk pada gundukan pasir yang ia kumpulan dengan berpeluh. Suliman tak pernah tahu, orang-orang yang membeli pasirnya menjual kembali pasir itu dengan harga berlipat-lipat ke kota. Ia bosan terbakar sengatan matahari. Ia bosan terus berendam di dalam air sungai. Ia juga bosan tiap kali bercermin mendapati kulitnya semakin menghitam, kelam dan legam. Dan ia paling bosan dengan kecerewetan emaknya yang menganggapnya pemalas. Meskipun begitu, seseungguhnya ia sangat menyayangi Emak. Ia ingin membahagiakan dan memuliakan emaknya di usia senjanya.

    Emak. Satu-satunya keluarga yang ia miliki, membesarkan dirinya seorang diri. Istilah kerennya sekarang single parent. Dulu sekali, ia berjualan nasi bungkus keliling di sekitar tempat Suliman bekerja. Menjajakannya di antara para penambang pasir yang lapar. Namun, karena rematiknya dan mungkin karena osteoporosis, Emak sudah tak sanggup berjalan jauh lagi untuk berjualan. Wanita tua itu memutuskan untuk beralih profesi menjadi penjual gorengan di depan rumah. Emaknya sebenarnya orang yang baik. Taat beribadah dan patuh pada ajaran agama. Cuma satu kekurangannya di mata Suliman. Cerewet. Itu sudah dari dulu dan semakin menjadi-jadi seiring bertambahnya usia. Mungkin memang tiap perempuan cerewet seperti emaknya, pikir Suliman.

    Dari Suliman kecil sampai sekarang, Emak sering kali menceritakan bapaknya yang meninggal saat usia Suliman beranjak satu tahun.

    “Bapak jatuh dari pohon kelapa, Le,” kata Emak agak serak karena sedih, mengenang kebersamaannya yang sederhana dengan sang suami. Bapak Suliman adalah buruh petik kelapa di desanya. Terjatuh dari ketinggian puluhan meter saat memanjat tanpa alat yang memadai. Kecelakaan kerja yang mengerikan.

    “Bapakmu orang hebat, Le. Ia pemanjat pohon kelapa terhebat di kampung kita.” Emak selalu berbinar tiap kali bercerita tentang kehebatan suaminya. Seolah itu adalah kenangan pahit sekaligus manis yang ia miliki dengan suaminya.

    “Iya, Mak.” Suliman hanya bisa menanggapi dengan sesederhana mungkin tanpa menyakiti hati Emak, karena tak ada gambaran sedikit pun tentang bapaknya di benak Suliman.

    ***

    Embun pagi meliuk di balik daun dan rerumputan. Ayam berkokok bersahutan. Pagi yang masih basah. Emak menekuri butiran tasbih di langgar. Suliman diam-diam menyelinap. Membawa bajunya yang dibungkus sarung kotak-kotak. Mereknya Sapi Jongkok. Pemberian salah satu pimpinan partai yang wajahnya ia kenali lewat selebaran. Meskipun ia dipaksa untuk mencoblos orang yang katanya dermawan, ia senang. Senang karena ia mendapatkan sarung gratis dan uang lima puluh ribu. Tanpa harus berendam dalam air di bawah panas matahari.

    Ia juga senang mendengarkan janji-janji kampanye yang disampaikan para pendukungnya dulu. Katanya jika calon yang diusung mereka terpilih menjadi bupati. Jalan desanya akan diperbaiki dengan aspal terbaik. Akan ada angkutan umum masuk desa. Jadi dia tidak harus bejalan puluhan kilo untuk sampai di jalan raya jika ada keperluan ke kota. Akan didirikan sekolah di desanya, jadi anak-anak tidak perlu jauh-jauh ke kota untuk belajar. Akan dibangun balai pengobatan gratis, sehingga warga tak perlu mengantre panjang di puskesmas kecamatan yang sangat jauh dari desanya. Dan yang membuatnya berbinar, harga satu gundukan pasirnya akan dinaikkan! Tapi hampir lima tahun masa jabatan, Suliman belum pernah merasakan perubahan jalan desa yang berbatu dan berdebu. Sekolah dan balai pengobatan gratisnya pun tak ada kabarnya. Bahkan gundukan pasirnya masih dihargai sama.

    Suliman kini berjalan, melewati jalan pintas melalui pematang sawah untuk segera sampai di jalan raya, hanya untuk mendapatkan angkutan umum. Turun dari angkutan ia segera menaiki bus yang akan mengantarkannya ke kota, tempat Jono bekerja. Sebenarnya ia membicarakannya dengan Jono dua minggu yang lalu saat Jono pulang kampung. Ia meminta pekerjaan pada Jono. Dengan berapi-api dan penuh semangat, Jono meyakinkan Suliman bahwa ia akan membantunya. Kebetulan sekali, kemampuan Jono meyakinkan orang lain di atas rata-rata.

    “Itu urusan gampang, Bro,” ucap Jono waktu itu dengan lagak sok kotanya. Jono memberi tahu rincian rute yang harus diambilnya sekaligus menentukan tanggal keberangkatan dan di mana ia akan dijemput nanti. Dengan hati gentar, akhirnya Suliman berani mengambil keputusan untuk meninggalkan desanya.

    Di dalam bus, ia menyodorkan dua lembar uang lima puluh ribu yang berhasil ia simpan dari hasil penjualan pasir. Bus tampak lengang, tidak begitu penuh. Sopir bus melaju dengan ugal-ugalan, tak beradab. Suliman mual tapi berusaha bertahan. Sesaat ia ingin kembali, ingat emak yang sendirian dan sudah renta. Ia bahkan tidak pamit ke Emak–karena ia tahu, Emak pasti akan melarangnya. Bus melaju pesat, keputusan sudah terlanjur bulat.

    Seperti menyesal, Suliman ingat masa kecilnya. Berbagai kenangan berkelebat. Saat emaknya dengan telaten menggunting kukunya. Meneteskan getah pisang ke lukanya saat jatuh bermain. Mengantarnya ke sungai untuk sekadar membuang hajat. Menemaninya saat ia ketakutan menjelang tidur dengan bercerita. Cerita yang sampai sekarang dihapalnya di luar kepala.

    “Kamu tahu, Le,” ucap Emak tiap memulai cerita. “Kenapa bapakmu memberimu nama Suliman?” Suliman akan menggeleng di balik bayang-bayang lampu teplok di kamarnya.

    “Suliman itu nama nabi kita, Le,” tutur Emak sambil mengusap-usap rambut Suliman.

    “Nabi yang menjadi raja, berkuasa, disegani kelompok jin dan manusia, kaya raya dan tetap baik ke rakyatnya bahkan bersahabat dengan semut dan binatang lainnya.” Suliman senang mendengar namanya sama dengan nama nabi. Ia ingin mendengar lebih, tapi Emak akan mengakhiri ceritanya sambil mengerjap menahan kantuk dengan kalimat yang menumbuhkan harapan pada Suliman “Mbesok, kamu harus bisa seperti Nabi Suliman.”

    Karena Suliman pernah mengaji, dia akhirnya tahu, nabi yang dimaksud emak adalah Nabi Sulaiman, bukan Suliman. Sambil mengingat senyum Emak, ia kini meyakinkan dirinya kembali bahwa keputusannya sudah tepat. Suliman berjanji dan bertekad, ia akan kaya raya seperti Nabi Suliman dan akan segera kembali ke desanya menjemput Emak. Ini adalah cara terbaik untuk mewujudkan impian Emak, batin Suliman. Sekarang ia memejamkan mata dan segera terlelap.

    Di sudut lain, sepulang dari langgar, Emak membuatkan bekal untuk Suliman berangkat ke sungai, tapi tak dijumpainya sosok Suliman di tiap jengkal rumah. Emaknya berpikir, barangkali Suliman sudah berangkat lebih awal ke sungai. Dititipkannya bekal itu pada tetangganya yang juga sesama penambang pasir.

    Di sekitar area tambang pasir, dicarinya Suliman oleh tetangganya tersebut. Namun batang hidungnya tak tampak sama sekali. Hingga sore bahkan esok harinya, keberadaan Suliman tak juga diketahui. Berita menghilangnya Suliman pun ramai diperbincangkan di tiap sudut desa. Banyak yang prihatin pada Emak yang mendadak sakit saat tahu anaknya raib entah kemana. 

    Ialah Karti, istri Jono yang mencari tahu tentang kemungkinan Suliman pergi ke kota mengikuti suaminya, mengingat saat suaminya pulang beberapa waktu lalu, Suliman tampak sering bertamu dan berbincang serius. Melalui sambungan telepon–yang dilengkapi penguat sinyal khusus–Jono membenarkan dugaan istrinya. Karti segera berlari ke rumah Emak, mengabarkannya dengan penuh suka cita. Tujuannya baik, agar perempuan tua itu tidak menanggung beban pikiran. Alhamdulillah, meski sedih dengan kenyataan itu, Emak berangsur pulih.

    Satu bulan kemudian, seperti yang dijanjikan Jono pada istrinya, ia akan pulang dan mengajak serta Suliman bersamanya. Sayangnya Jono hanya membawa raga Suliman dengan ambulans. Nyawanya tak ikut kembali ke desa itu. Ia menjadi korban tabrak lari saat hendak melarikan diri dari cengkraman Jono yang ternyata tangan kanan bandar narkoba di kota besar. Suliman tak sudi menjadi kurir barang haram tersebut. Pelarian yang mengantarkan nyawanya pada Sang Pencipta.

    ***

    Naila Zulfa ibu pembelajar sekaligus buruh pabrik. Pegiat literasi di komunitas ODOP. Domisili di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.