BLANTERORBITv102

    Aku, di Antara Kamu dan Ibumu

    Kamis, 15 Oktober 2020

    Oleh : Nurhidayatunnisa

    Terdengar derap langkah kecil memasuki rumah, kutahu itu kamu, Ibu bahkan menghentikan kegiatannya bersamaku dan menghampirimu dengan sumringah. “Ibu masak makanan favoritmu, rendang daging. Nanti kita makan bersama, ya. Sekarang kau istirahatlah dulu!” 

    Demi mendengar rendang daging yang sangat langka bisa kamu nikmati, wajah lelah yang pias berubah ceria. Kamu masuk ke kamar dan menuruti permintaan Ibu, berbaring dengan nyamannya. Kuyakin kamu telah memakan rendang itu di dalam mimpimu kini.

    Kamu dan Ibu memakan hidangan yang hanya bisa dinikmati setahun sekali itu dengan lahap. Bahkan Ibu memberikan porsi miliknya untukmu, dan tentu saja kamu tak menolak dan langsung melahap makanan itu tanpa jeda hingga tak bersisa.

    Selepas makan, kamu pergi meninggalkan Ibu yang kini sibuk denganku di dapur membersihkan perkakas. Sembari bekerja, Ibu tak henti mengucap syukur, beliau mencurahkan kisahnya atas segala daya upaya beliau saat mendapatkan daging yang hanya dalam sekejap kamu habiskan itu. Andai kamu tahu, untuk mendapatkan beberapa potong daging, Ibu menjual semua hasil kebun sayur dan tebunya. 

    Hari itu bukan tanpa arti, karena sesungguhnya ada alasan di balik makanan mewah itu. Aku tak yakin, apa kamu benar-benar lupa, tapi hari itu ialah hari bertambahnya usia Ibu. Beliau bahkan tak sedikit pun terlihat kecewa karena kamu tak menyinggung hari spesialnya. Ya, benar. Bertambahnya usia bagimu dan Ibu bukanlah hal istimewa, hal itu justru mengingatkan bahwa kehidupan di dunia tak lama lagi. Tapi, tetap saja sebagai manusia biasa, Ibu pastinya ingin mendengar ucapan selamat darimu, dan kuyakin kau pun begitu.

    Beberapa bulan setelahnya, hari spesial untukmu tiba. Kamu pulang dengan bibir tak henti menyungging ke atas, baru saja kamu ingin membiarkanku mendengar lisanmu, namun, urung. Ibu tiada di rumah. Tapi, kebahagiaan tetap terpancar di wajah tirusmu. Kamu masuk ke kamar lalu tertidur, mungkinkah mimpi memakan rendang itu menghampirimu kembali?

    Ibu pulang dan kamu keluar dari istirahat panjangmu, masih dengan wajah yang memperlihatkan dua lesung pipi dalammu yang memesona. Namun, bukan daging seperti harapanmu, Ibu justru membawa kembali sayur dan tebu miliknya. “Maaf, Nak, Ibu tak bisa menjual sayur dan tebu ini, mereka bilang sayur Ibu tak lagi segar dan tebunya juga tak manis lagi. Kau juga tahu, kebun kita sudah gersang, tiada lagi yang bisa tumbuh di tanah tandus itu. Ibu masakkan untukmu sayur ini, ya? Kau juga pasti haus, akan Ibu buatkan air tebu untukmu.”

    Mendengar penjelasan Ibu nan menyedihkan itu, membuatmu terpikir sesuatu dan tanpa suara, pergi menghilang dari pandangan kami. Melihat kepergianmu, membuat Ibu jatuh terkulai. Namun, demi memikirkan dirimu yang belum makan, jadilah ia kembali membawa langkahnya menuju dapur, bersama─kami memasak makanan yang bisa kamu santap saat pulang nanti.

    Malam menjelang, kamu tak jua pulang. Hingga akhirnya tengah malam menghampiri seiring munculnya sosokmu nan memukau dengan tentengan berat di sebelah kirimu. Terlihat olehku dan Ibu, makanan mewah itu, rendang daging. Tak kuasa menahan keheranan, langsung saja terukir pertanyaan dari lisan tua Ibu, “Dari mana kau dapatkan makanan ini, Nak? Kau tak mencurinya, bukan?” 

    Dua lesung pipimu terlihat sumringah, kamu dengan mantapnya menjawab, “Tentu saja tidak, Bu, aku mendapatkannya dari Bang Kurdi. Tadi katanya ada pesta di kampung sebelah, dia pun membungkus banyak makanan dan membagikannya pada kami.”

    Mendengar nama pria yang terkenal preman kampung itu disebut, tersulut amarah Ibu yang selama ini tak pernah terlintas dalam pikiranku akan melihatnya. “Kurdi? Kurdi si tengil itu kau bilang? Perusak kampung, perusuh, beberapa kali keluar masuk penjara dia. Sudah berapa kali Ibu bilang sama kau … jangan bergaul dengan pemuda yang tak punya masa depan itu. Bisa saja dia berdusta, bisa saja dia mencuri makanan itu entah dari mana .…” Emosi sudah benar-benar menguasai Ibu, bahkan makanan istimewa yang kamu bawa dilempar ke luar rumah.   

    Melihat makanan favoritmu dibuang begitu saja, kamu yang tak percaya mendapatkan perlakuan menyakitkan dari Ibu, menghampiriku dan bersama─kita melukai hati Ibu. Kamu seolah tak peduli dengan Ibu yang tebaring kaku di atas lantai yang memerah, kamu menangisi rendang daging yang berserakan dan pergi dari rumah membawaku serta yang masih dalam genggamanmu nan ikut memerah.

    Keesokan hari setelah kamu pergi meninggalkan kami─Ibu yang tergeletak tak berdaya di dalam rumah, rendang daging yang tercerai-berai, dan aku di kebun gersang ibumu. Aku mendengar kembali lisan paraumu. Tapi, kamu tak sendiri, ada beberapa orang membersamai, dan kamu menunjukku dengan tangan yang terborgol.

    ***

    Nurhidayatunnisa nama pena dari Isnania, anggota Komunitas ODOP Batch 5.


    1. Jadi, "aku" adalah sayur atau pohon tebu?

      BalasHapus
    2. Tadinya kupikir si aku itu istrinya. Eh bukam ternyata. Keren deh.

      BalasHapus
    3. Kirain aku itu adik mu ....
      Aku suka... Aku suka

      BalasHapus
      Balasan
      1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

        Hapus
      2. Alhamdulillah. Makasih banyak mbak.

        Hapus
    4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      BalasHapus
    5. Ceritanya susah ditebak, saya kiranya Aku itu saudaranya, ehh ternyata bukan,hidangan istimewa setahun sekali saya kira dapat daging qurban, eeh ternyata salah... Kagum sama tokoh ibu selalueberikan yang terbaik untuk putranya....

      Keren banget

      BalasHapus
      Balasan
      1. Alhamdulillah. Makasih banyak mbak. Ibu memanglah selalu yang terbaik ya.

        Hapus
    6. Kak, itu endingnya si ibu dibunuh kah?

      BalasHapus
      Balasan
      1. Pengen jawab nggak. Tapi, kisahnya iya. Efek emosi sesaat. T_T

        Hapus
    7. Membaca ulang, baru ngerti😁😁

      BalasHapus
    8. Perlu membaca berulang baru paham isinya kak 😁

      BalasHapus