BLANTERORBITv102

    Suka Duka Merantau di Hong Kong

    Rabu, 15 Juli 2020

    Oleh: Wakhid Syamsudin

    Mudik adalah tradisi tahunan di Indonesia yang terjadi menjelang hari raya besar Idul Fitri atau Lebaran, di mana para perantau pulang ke kampung halaman untuk melepas kangen dan beristirahat sejenak dari dunia kerja yang terkadang menjenuhkan. Untuk tahun ini, budaya penuh warna itu harus tertahan karena adanya pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Pemerintah sudah mengimbau perantau agar tidak mudik.

    Mungkin kebersamaan dengan keluarga harus ditunda oleh para pemudik. Hal itu bukanlah sebuah akhir dari segalanya. Kita harus bersabar, toh untuk masa sekarang ini, rasa rindu bisa diobati dengan panggilan video dari gawai kita. Mudik ditunda bukan masalah lagi.

    Kali ini, ada sebuah buku yang bisa jadi bacaan kita di mana saja berada. Baik di kampung ataupun di rantau. Sebuah kisah penuh hikmah dari rantauan, dari jauh sana, dari negeri beton Hong Kong. Lebih jauh dari pada merantau di kota besar Indonesia, bukan?

    Nur Musabikah yang merantau ke negeri orang, tepatnya menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia), menuliskan sebuah buku berisi suka-dukanya selama menjadi buruh migran, jauh dari orangtua dan keluarga. Di Hong Kong, Nur menyadari betapa kehadiran Tuhan sangat terasa sekali, jadi pantas tulisannya yang diterbitkan Quanta ini ia beri judul Nikmat Bersua dengan-Mu.

    Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah (Buku Panduan TKI, 2014). (hal. 1)

    Dalam buku ini, kita akan mendapati kisah Nur bersama teman-temannya yang sarat hikmah. Kita akan turut terbawa suasana saat para TKI menjalani pelatihan yang diselenggarakan PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) bekerja sama dengan BLK (Balai Latihan Kerja) sebelum berangkat ke luar negeri. Untuk bekerja di sektor rumah tangga/informal (baca: pekerja rumah tangga), mereka dituntut untuk bisa berhadapan dengan berbagai peralatan rumah yang serba modern seperti kompor listrik, microwave, penyedot debu, AC, dan lainnya, yang mungkin adalah hal baru bagi para calon TKI tersebut. Selain itu juga harus belajar bahasa asing, memasak masakan ala negara tujuan, cara menjaga lansia atau pun bayi. (hal.2)

    Bekerja kepada majikan yang berbeda agama, membuat Nur dkk harus berjuang mempertahankan ibadah. Jilbab adalah perkara yang paling sering jadi persoalan, begitu juga salat yang kadang tidak mendapat izin dari majikan. Belum lagi ketika Ramadan dan harus menjalankan puasa sebulan penuh. Suka-duka para pejuang devisa itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Komunikasi dengan calon majikan sebelum menandatangani kontrak kerja mutlak diperlukan agar tidak terjadi benturan ibadah semacam itu. Tak sedikit juga, teman-teman Nur Musabikah yang akhirnya rela melepas jilbab dan melalaikan salat serta meninggalkan puasa. Miris memang, mengejar dunia dengan menggadaikan akhirat.

    Nur sendiri sering menerima pertanyaan tentang jilbab, ia selalu berusaha menjelaskan dengan baik. Dhai dhai sinsang, dalam agamaku seorang perempuan wajib menutup seluruh anggota tubuhnya kecuali muka dan telapak kaki, termasuk rambut. Sehelai pun tidak boleh kelihatan. (hal. 13)

    Tentu tidak melulu kesulitan yang didapati di Hong Kong, sebagian TKI justru bisa bekerja sambil sekolah hingga berhasil menjemput toga di negeri beton. Atau menimba pengalaman dan ilmu dengan bergabung pada komunitas TKI yang menyelenggarakan berbagai event seperti kajian, seminar, bedah buku, outbond, bahkan hiking ke pegunungan Pat Sin Leng, seperti yang dikisahkan pada halaman 123.

    Kisah-kisah inspiratif disajikan dalam 30 bab ini memuat banyak hikmah. Seperti kisah ketika penulis masih di penampungan jelang pemberangkatan, ia menderita sakit dan berobat pada seorang dokter. Ia sempat pesimis berkata, “Kalau tidak sembuh gimana, Dok? Sebentar lagi jadwal pemberangkatanku tiba.” Ucapan itu dijawab sang dokter dengan berkata, “Jangan ngomong tidak sembuh dong. Gimana Allah mau ngasih sembuh, orang kamunya saja ragu.” Sebuah dialog ringan yang bisa diambil pembelajaran. Masih banyak sentilan lain bisa didapat pada tiap babnya. (hal. 51)

    Beberapa halaman juga terdapat kutipan-kutipan yang bisa dijadikan perenungan. Di antaranya: “Hikmah selalu didapatkan orang yang selalu berani melewati ujian dari-Nya.” (hal. 91), “Sakit ini nasihat dari Allah supaya terus ingat berzikir pada-Nya. Mintalah kesembuhan dari Allah karena penyakit dan kesembuhan datangnya dari Allah.” (hal. 100)

    Buku setebal 164 halaman ini sangat bagus untuk teman kala tak bisa mudik, sambil mensyukuri betapa indahnya menikmati masa menunggu kebersamaan di kampung halaman. Menyadari betapa pentingnya arti keluarga. Selamat menikmati!

    Judul: Nikmat Bersua dengan-Mu
    Penulis: Nur Musabikah
    Penerbit: PT Elex Media Komputindo (Quanta)
    Tahun: I, 2019
    ISBN: 978-602-04-9023-6
    Tebal: xvi + 164 halaman

    Wakhid Syamsudin berumah di www.coretanbasayev.com