BLANTERORBITv102

    Labuan Bajo: Menyisir Gua hingga Rumah Sang Naga

    Minggu, 01 Maret 2020

    Oleh: Briantono Muhammad Raharjo

    Menyusuri sebuah daerah pulau yang terpisah oleh pantai dan bukit merupakan suatu petualangan yang memiliki nilai tantangan yang sulit dilupakan. Begitulah kesan saya saat menyisir daerah Labuan Bajo, sebagai pengisi liburan pergantian tahun. Saya pernah merasakan kemilau pantai-pantai Mataram, awan yang bergulung mengelilingi langit jernih di Pahawang, desir angin pantai Kuta, hingga meriahnya Pangandaran. Namun, sulit mengalahkan keunikan ekosistem di Labuan Bajo.

    Foto: Beberapa menit setelah pesawat mendarat di bandara Labuan Bajo.

    Jika dilihat dari tema gambar yang menjadi penghias tembok deck bandara, kemungkinan besar para pembaca pasti sudah menebak tentang tujuan pamungkas dari wisata Labuan Bajo. Tentu dalam pikiran kita kemungkinan besar berkutat dengan nama satwa yang hanya ada di Indonesia tersebut. Sang Naga, demikian sang satwa khusus daerah tersebut 'disapa' di berbagai media bertema fauna dan alam. Satwa reptilia inilah yang membuat Indonesia berbeda dengan negara lainnya.

    Hal menarik lainnya dari Labuan Bajo memang bukan hanya tempat peraduan Sang Naga. Penampakan alam berpadu dengan bangunan peninggalan sejarah, adalah ciri khas Labuan Bajo yang mengantarkan para pelancongnya memahami kehidupan masyarakat yang berbaur dengan hutan dan gua.  

    Gua Batu Cermin

    Di hari perdana saya dan keluarga melangkahkan kaki di Labuan Bajo, tujuan pertama adalah Gua Batu Cermin. Saya sarankan untuk menjelajahi gua ini bersama pemandu. Sepintas memang Gua Batu Cermin adalah situs yang bisa ditembus dengan berbekal senter. Nyatanya, bila memantau isi gua lebih dalam, kita akan sadar bahwa memasuki gua berbatu yang sempit ini tanpa pelindung kepala adalah sebuah kecerobohan. Stalagmit dan stalagtit, dua 'penjaga' yang menghiasi sekujur tubuh gua.

    Foto: Penampakan dalam Gua Batu Cermin

    "Bri, kira-kira kalau cuma mau foto-foto aja di luar gua, bagus gak? Saya necrophobia, nih, Bri. Pakai senter juga tetap takut merinding."

    Saya mengerti bila tidak semua orang senang dengan wisata gua, apalagi yang tak tahan gelap. Kelebihan dari Gua Batu Cermin adalah terdapat banyak sulur-sulur akar tanaman dan tangga peninggalan zaman kuno, tetap menguatkan sensasi berbaur dengan alam dan peradaban lampau. Dengan catatan, perlengkapan dan pakaian lengkap harus jadi bekal utama untuk bisa mendekat ke area ini. Lantai licin, berlumut, dan sulur akar yang menjulur mungkin membuat Anda harus lebih waspada dalam melangkah.

    Foto: Tanah Gua Batu Cermin yang cenderung becek.

    Bila anda adalah orang yang memilih untuk membedah isi gua, saya jamin melindungi kepala dengan helm proyek atau semacamnya dengan senter kepala adalah pilihan cerdas untuk menjaga agar batok pelindung otak ini tidak benjol dan berdarah-darah. Pembukaan celah yang cenderung sempit membuat sekujur gua ini hanya memungkinkan sedikit cahaya, ditambah dengan pagar stalagtit dan stalagmit yang cukup keras.  Belum lagi lantainya yang dikerubungi batu terjal. Bagi Anda yang rindu penjelajahan di medan terjal dan membutuhkan ketelitian, Gua Batu Cermin adalah tujuan yang tepat untuk mencicipinya.

    Bersantap Seafood Bakar

    Memang sejatinya Labuan Bajo adalah gugusan pulau yang dibentengi pantai, bersantap hidangan laut untuk melumat nafsu lapar adalah kenangan yang tidak kalah menarik.

    Rasanya saya sepatutnya mencantumkan agenda ini ke dalam daftar kegiatan di Labuan Bajo. Terutama setelah melihat ikan segar berwarna merah, yang cukup mengundang penasaran dan air liur. Aroma wangi para penghuni laut yang diolah di atas tungku pembakaran menambah kuatnya aroma laut yang menembus hidung bagian lobus olfaktori.

    Foto: Silakan pilih ikan yang paling segar.

    Foto: Berdamai dengan kolesterol.

    Tentu saja, kekhawatiran akan naiknya kadar kolesterol sesekali menghantui kami. Tapi, kalau sudah kadung memesan bangku, nasi, dan hidangan, rasa adalah nomor satu. Yang jelas, kalau sudah duduk di kedai dekat pantai-pantai Labuan Bajo, sulit untuk tidak tambah nasi dan membawa uang di bawah seratus ribu. Setelah 'memindahkan' seisi penghuni laut ke dalam perut kami beristirahat mempersiapkan diri untuk tujuan inti menyusuri Labuan Bajo, sarang Sang Naga.

    Pulau Rinca, Rumah Sang Naga

    "Jadi berapa lama perjalanan untuk sampai di pulau itu, Pak?"

    "Satu setengah jam."

    Foto: Saat kapal berlayar menuju Pulau Rinca.

    Kami ikuti arahan sang pemandu. Satu setengah jam adalah durasi yang sulit ditawar untuk mencapai kediaman Sang Naga. Sang Naga memang binatang berbahaya dan memelihara mikroba dalam giginya. Maka jangan suka membantah atau mengelak bila pemandu sesering mungkin mengecek bila mana para pengunjung sarang Sang Naga sedang dalam keadaaan (maaf) datang bulan atau memiliki luka menganga. Sang Naga begitu suka akan daging dan darah, hingga kerbau pun lari terbirit-birit bila melihat mereka muncul. Sang pemandu hanya khawatir, jika Sang Naga terlanjur menggigit, satu setengah jam bukan waktu yang menyenangkan untuk menanti penanganan.

    Kapal terikat, jangkar tertancap. Kapal kami tiba, hendak mengetuk pintu gerbang rumah para Naga. Seperti yang sudah dikatakan tentang kecintaan mereka akan daging, ornamen-ornamen yang menghiasi pintu masuk adalah tengkorak-tengkorak para hewan. Menyusuri jalan-jalan di mulut pintu masuknya pun kami menemukan bangkai utuh. Oh, Tuan Naga, sungguh lahap makanmu. Semoga kuburku bukan dalam perutmu.

    Foto: Gerbang masuk rumah Sang Naga.

    Foto: Sensasi berfoto dengan para 'mayat'.

    Ketika memasuki pintu, pawang yang bertugas menjelaskan tentang apa yang boleh dan dilarang saat menyusuri rumah sang naga. Tak lupa ia pun memaparkan tentang bagaimana menanggulangi risiko, bila sulit untuk menghindari gigitan Sang Naga. Tentu saja, penjelasan itu disertai contoh kasus.

    "Beberapa bulan silam ada turis Jerman yang melancong ke tempat ini. Saya sudah coba periksa dan tanya, apakah di antara mereka ada yang datang bulan, para pelancong hanya menggeleng. Tatkala mendekat ke dalam hutan, Sang Naga beringas mengejar salah satu dari mereka. Langsung saya usir, baru kemudian orang yang dikejar tersebut mengakui bahwa dirinya sedang (maaf) datang bulan."

    Foto: "Bapak-bapak, Ibu-ibu, tolong saling mengingatkan selama berada di sini," terang Mas-mas Pawang.

    Barangkali, akan ada contoh kasus lain yang dipaparkan bila Anda merapat menuju hutan. Bila memang ada luka menganga atau datang bulan, jangan pikir dua kali untuk ambil risiko. Segeralah putuskan untuk menetap, sebelum penyesalan muncul karena menjalarnya racun Sang Naga. Nyatanya, begitu tiba di situs hutan, ada beberapa pawang lain yang mengarahkan para Naga untuk tidak terlalu mendekat pada para wisatawan. Sebagian lainnya mempersiapkan diri untuk menjaga turis yang hendak berfoto dengan Sang Naga.

    Foto: "Ayo, teman-teman! Kita mau pesta daging bakar!"

    Foto: "Hei, Brian! Kalau fotoku sudah jadi, tolong jangan kasih filter penyunting.Wajahku sudah tampan."

    Akan tetapi, kadang memang bahaya sulit diduga, bahkan sulit diukur. Bapak saya sempat diserang semut ganas, tepat di bagian mata. Hatiku mulai tak keruan saat itu, karena semut kecil menggigit di sekitar kelopak mata dan meninggalkan bekas merah. Saya kira, bila Anda sedang di posisi tersebut, Anda pun akan merapat untuk berjaga-jaga. Bisa saja, Sang Naga merapat karena aroma luka bekas gigitan.

    Berjalan sekian jam menyusuri hutan Sang Naga, tibalah kami di sebuah bukit. Penuh kerikil berwarna jernih berbalut rumput yang rindang. Perbukitan itu mengundang rasa kekaguman kami, karena langit membentang cerah di atasnya. Kabut tipis yang menghiasnya, turut mempercantik semua hal yang dijangkau oleh mata kami. Ternyata, sarang Sang Naga menyimpan surga dunia yang terpendam.

    Akhirnya, tiba waktunya kami berpisah dengan para Naga. Mereka buas, namun juga perlu waktu menarik napas dan mengurai kantuk. Lapar bukanlah sesuatu yang mendominasi kehidupan mereka. Para Naga pun butuh berserikat dan bercengkerama, sesekali sambil turut menikmati matahari yang mulai turun menuju ufuk barat.

    Kendati kami telah kembali ke kapal, Labuan Bajo bukanlah sekedar tempat peraduan Sang Naga.Sejatinya, karena Labuan Bajo adalah benteng alam yang berpantai, mencicipi ombak lalu menyelam adalah hasrat yang kadang sulit untuk dihindari. Pantai Pulau Kalong menjadi tujuan selanjutnya untuk memuaskan kerinduan akan air laut.

    Pantai Pulau Kalong

    Sesampainya di sini, pemandu kami telah membawakan beberapa perangkat menyelam. Dengan demikian, hanya ibuku saja yang tidak bersalin baju untuk mengabadikan ingatan mengenai pemandangan pantai dan pepohonan yang menyelimuti pantai yang berpasir jernih ini.

    Foto: Sekedar rutinitas pamungkas saat menyentuh pantai.

    Saya dan istri memilih untuk ikut menyelam. Bapak saya, yang baru beberapa jam lalu diserbu semut kecil, langsung bergerak menuju tengah laut, tepat di bawah karang. Rasa-rasanya, bagi bapak dan adik saya yang merupakan pecandu olahraga, menyelam hingga ke bagian tengah laut sudah menjadi agenda rutin setiap kali mengunjungi pantai. Sementara, saya sendiri langsung melepas baju selam, setelah seekor ikan besar menyalak dan menggigit beberapa bagian tubuh saya. Untungnya dia bukan hiu.

    Setelah mengeringkan badan, kami tak segera beranjak dari pantai. Ibuku mengajak mendaki bukit untuk mengabadikan beberapa kenangan. Terjal dan curam, begitu yang kami rasakan saat berusaha menuju puncak bukit Pulau Kalong. Sesekali saya terpeleset, karena lerengnya begitu licin berbalut pasir halus. Perjuangan membuahkan hasil, dari ketinggian puncak bukit terlihatlah gugusan pulau lain.

    Sebagaimana untuk naik perlu perjuangan, demikian pula untuk menuruninya. Tetapi kecepatan kaki setiap orang berbeda, dalam menyusuri curamnya sebuah bukit. Saya memilih mengotori celana agar tak terjerembab lalu terguling dalam lintasan lereng. Di lain sisi, mungkin akan susah untuk menahan rasa terpukau saat melihat turis luar negeri bisa dengan mudahnya menapaki lereng yang miringnya melebihi enam puluh derajat dengan postur tubuh tegak.

    Penutup

    Setelah mengunjungi pantai Pulau Kalong, usailah semua agenda utama kami saat itu. Labuan Bajo memang bukan tempat wisata yang menjanjikan kenyamanan, namun sulit untuk melupakan segala tantangan yang meliputinya. Bila Anda berminat untuk mengunjungi Labuan Bajo, jangan lupa persiapkan peralatan keselamatan dan kesehatan kerja disamping bekal uang, pakaian, dan makanan.

    ***

    Briantono Muhammad Raharjo aktif sebagai karyawan BUMN dan menggeluti musik, sastra, serta bersepeda. Pada Agustus 2018 berhasil merilis kumpulan cerpen pertamanya bersama Komunitas Menulis Online bertajuk Rahasia Doa. Di tahun 2019, 4 antologi cerpen yang melibatkan dirinya terbit, beberapanya bersama komunitas One Day One Post, antara lain: Kontemplasi Kisah Semesta dan Kumpulan Cerita Rakyat. Penulis dapat dihubungi lewat email bheraharjo@gmail.com, atau melalui nomor whatsapp +6282299162157.