BLANTERORBITv102

    Jangan Tidur di Malam Hari

    Kamis, 01 Agustus 2019

    Oleh: Hiday Nur

    Jangan tidur di malam hari. Kau tak akan tahu apa yang terjadi jika matamu mengatup.

    “Tuan Hugo hilang!”

    “Tuan Hugo menghilang!”  

    Ya, kau bisa kehilangan apa saja saat terbangun. Makanan dicuri tikus. Pasangan diambil orang. Paling parah, nyawa dicatut Tuhan. Yang ini memang bukan sejenis masalah dari ketiganya. Tapi percayalah, ini lebih rumit. Jika kau mati, seharian ditangisi saja sudah bagus. Tapi ini Tuan Hugo yang pergi. Tuan Hugo yang dimuliakan sehari-hari. Kampung pasti gempar. Banyak yang akan menangis, sepanjang kaulihat. Tapi di sudut yang lain, mungkin, banyak tertawa.

    Tentang siapa dan bagaimana Tuan Hugo bisa menjadi masyhur, baiklah akan kuceritakan ihwalnya. Dulunya Tuan Hugo hanyalah pendatang yang tiba-tiba saja datang. Pada suatu subuh sebelum ramai suara-suara, dia sudah ada dengan sendirinya ketika penduduk pertama terjaga dari tidurnya. Tampangnya semrawut, luka di tungkainya, luka di kepalanya, luka di sana, di sini, di sekujur tubuhnya.

    Penduduk yang pertama kali menemukannya itu, lalu merawatnya, tak butuh waktu lama untuk terpikat pada budinya. Jika ada yang bersedih, dia menghibur. Jika ada yang bertikai, dia melerai. Jika tak ada apa-apa, dia membuat-buat banyolan agar kampung penuh tawa. Jika mendapatkan banyak rezeki, dia memberi. Jika tak ada banyak rezeki, ah tak pernah terjadi, entah dari mana dia selalu punya apa saja untuk dibagi-bagi. Hugo pandai menyenangkan hati.

    Karena tabiatnya itu, Tuan Hugo tidak hanya disayangi. Dia bahkan menjadi junjungan. Setiap petuahnya dipedulikan. Kepala suku yang dulunya merepet kesal karena terancam dominasinya, diam-diam kini merapat. Suara Tuan Hugo cukup mujarab menggerakkan kaumnya. Biar saja, asalkan Hugo sialan itu bisa diaturnya, begitu kepala suku pikir.

    Tentu saja paduka kepala suku tak menduga. Si bocah Hugo sialan itu mulai merampas popularitas yang tak pernah dimilikinya, bahkan popularitas para pemuka agama. Jika saja daftar nabi-nabi belum dipungkasi, bisa jadi Tuan Hugo ini akan didaftar sebagai anggotanya. Bagaimana tidak, hidupnya yang sahaja, tuturnya yang welas asih,  mengajarkan hidup berkeadaban, tolong menolong, berbagi, lemah lembut dan haram menyakiti. Yang utama, dia melarang siapa saja menurut untuk diadu domba. Disabung, diadu, berarti kehilangan hak hidup paling hakiki, yakni merdeka. Meski hanya makhluk kecil yang tak mampu terbang, mereka punya harga diri, berdaulat.

    Jika ada satu yang belum dipunyai Tuan Hugo ini, ialah legitimasi untuk membuat kewenangan. Yang mutlak, yang dengan sekali sabda, siapa saja berhak dihukum jika tak menaati kaidah.

    Setelah sekian waktu larut dalam kehilangan, mereka sekampung teringat Chickgo, anak asuh Tuan Hugo. Chickgo adalah yatim piatu yang ditemukan Tuan Hugo pada suatu subuh yang hening, saat dirinya terjaga di ujung tidurnya. Pasti karena teringat muasalnya yang dulu ditemukan dan dibesarkan, Tuan Hugo lalu mengasuh Chickgo.

    Si Chickgo itu, yang ternyata kini mulai beranjak dewasa, berkerisut tersedu di pojok tempat tinggalnya.

    “Hidup harus berjalan, anakku Chickgo,” kata setiap mulut, yang tampaknya telah berevolusi menyaru kebijaksanaan Tuan Hugo.

    Lalu pada subuh hening yang lainnya, keributan diserukan kembali oleh mata pertama yang terjaga dari tidur semalamnya. Seperti dulu dia tiba-tiba menghilang, Tuan Hugo, kini tahu-tahu datang.

    Berdiri tegap, gagah, perkasa, sehat wal-afiat. tanpa bekas noda atau luka. Setiap yang menyadari kehadirannya kembali, seketika memeluknya penuh dendam kerinduan. Beberapa meneteskan air mata, tenggelam dalam haru. Semua, terlebih Chickgo si anak asuh, yang menggugu melampiaskan kumulasi khawatir yang sekian hari mendera. Semua bersuka cita, kecuali satu, yang hilang dan tak dihiraukan.

    Dengan diiringi tatapan takzim yang menuntut jawab atas dirinya selama ini, Tuan Hugo menaiki podium kehormatan tempat sang kepala suku biasanya bersabda.

    Hening sekian detik, aura sakral yang magis.

    “Aku datang untuk menjadi utusan kalian.”

    Setiap mata bersitatap dengan tampang sama bertanya. Mencoba memahami seruan sang Tuan.

    “Suatu malam aku diculik. Begitu pula nasib membawanya ke tempatku berada. Tapi sang kepala tak beruntung.”

    Setiap raut beradu takjub. Sepanjang mata memandang, sang kepala tak nampak di mana pun. Mereka baru sadar. Entah kapan, sang kepala telah hilang. Tentu saja, Tuan Hugo tak pernah salah ucap. Mereka hanya terkejut oleh ketiba-tibaan yang silih berganti.

    “Aku hanya mampu membawa jasadnya.” Tuan Hugo berujar dalam tangis pilu. “Di ujung hidupnya, kalian diserahkannya kepadaku.”

    Hari berjajar menjadi minggu. Kesedihan, entah sungguhan atau sekedar pantas-pantasan, pada hari pemakaman sang kepala, telah berlalu, diganti upacara pergantian pimpinan.

    Pada penobatan Tuan Hugo yang disayangi, hampir setiap wajah menerbitkan cahaya. Euforia. Pesta paling meriah sepanjang zaman diadakan untuk menyambut pimpinan baru. Sesekali, boleh saja lupa sejenak pada ajaran kesahajaan Tuan Hugo selama ini.

    Minggu berkumpul dengan minggu lagi, bulan berganti. Tuan Hugo mengganti semua jajaran abdi masyarakat, layaknya pimpinan baru yang lahir akibat perebutan rezim. Demi niat mulia, seorang pemimpin hanya boleh dikelilingi oleh orang-orang yang mengerti strategi dan konsep kemajuan yang digagasnya.

    Belum seratus hari, Tuan pemimpin baru mulai merancang agenda kemaslahatan. Untuk itu, praktik jimpitan harus ditingkatkan, kualitas maupun kuantitas. Semua bersorak. Tuan memang pintar, pantas mengurus rakyat. Berdasar pikirannya yang berkemajuan, di kemudian hari, Tuan mencabut beberapa subsidi, agar kas rakyat semakin tinggi dan bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan. Jalan yang rusak diperbaiki, kemudian dibangun lagi meski warna aspalnya baru sedikit pudar. Yang lalu-lalu jangan sampai terjadi lagi, kan? Kenyamanan bersama adalah prioritas.  

    Semakin lama, kau sadar semakin aneh saja program tuan pemimpin ini. Tapi sebentar, Tuan kan dari kita untuk kita. Jikalau tak paham maunya, pastinya karena Tuan kelewat cerdas, otakmu yang kurang suplemen

    Tapi hidup semakin berkeringat. Meski Tuan tak luput menyerukan semangat. Pikirkan yang harusnya kau beri, bukan apa yang ingin kau dapat!

    Diam-diam kau dengar para pengagumnya yang dulu, mulai berbisik-bisik di belakangmu. Hidup rasanya tak lagi mudah. Bahkan beberapa muda-mudi yang tak pernah sekolah pun kasak-kusuk. Otak mereka yang murahan mulai lancing mengotak-atik: dulu, apa penyebab kematian sang kepala suku, sesungguhnya?

    Apa yang hilang?

    Ada yang berlubang.

    Apa?

    Rakyat jelata tak tahu banyak tentang nama-nama. Pokoknya, sakit rasanya.

    Seperti kubilang, kau Jangan tidur di malam hari. Kau tak akan tahu apa yang terjadi jika matamu mengatup.

    Dan tahu-tahu kau hanya akan melihat Chickgo yang sekarang gagah perkasa menaiki podium kebesaran Tuan Hugo saat kalian membuka mata.

    “Dia telah mati!” serunya. “Dia yang mencuri kepercayaan kita selama ini”

    Semua bersitatap. Bukan soal siapa yang mati.

    Kepercayaan.

    Jadi itu nama dari perasaan yang hilang selama ini?

    Apa mungkin yang hilang itu bisa kembali?

    Hilang di mana, ada yang tahu?

    Chickgo masih bicara tentang kedamaian, keadilan, wzwkk, abjbyazw, sfgghhjj. Rasanya lebih mudah menjadi makhluk bebas berkotek dan berkokok seperti dulu.

    Hsst! “Kau jangan tidur di malam hari! Kau tak akan tahu apa yang terjadi jika matamu mengatup.” Diam-diam kau bisiki siapa saja, siapa saja, satu per satu.

    ***

    Hiday Nur penggagas NAC, pendiri Sanggar Caraka.