BLANTERORBITv102

    Munas untuk ODOP-ers

    Senin, 01 Juli 2019

    Oleh: Sakifah

    Izinkan saya sebagai salah satu panitia, untuk mengabadikan cerita tentang keseruan acara Munas ODOP 2019, meski tidak semua peristiwa sempat diabadikan dalam gambar atau video, semoga tulisan ini cukup mewakili apa yang terjadi.

    Pertama kali mendapat mandat dari ketua ODOP terpilih, Om Wakhid, untuk mengoordinir panitia pelaksanaan Kopdar ODOP 2019, saya sempat shock. Siapalah diri ini yang sudah lama tidak menjadi pengurus organisasi, mau jadi koordinator panitia event skala nasional? Tapi menolak tentu bukan pilihan yang baik. Apalagi yang memberi mandat adalah ketua terpilih, sudah seperti “titah seorang bapak kepada anaknya”. Mau nggak nurut? Bisa kualat, serem.

    Baik, saya tidak mau dan tidak akan mampu menjalankan tugas ini sendiri. Kopdar ODOP adalah agenda tahunan untuk mengumpulkan anggota komunitas dari Sabang sampai Merauke. Standar keberhasilan minimal dalam kegiatan ini, di antaranya adalah banyaknya peserta, antusiasme mereka dalam mengikuti kegiatan, dan kesan baik yang dihasilkan setelahnya. Akan menjadi nilai tambahan jika semakin banyak manfaat yang bisa dibawa pulang, sebagai oleh-oleh dari sebuah pertemuan.

    Maka dengan mengucap bismillah, saya kumpulkan ODOP-ers yang tinggal di Malang dan sekitarnya. Mereka yang kira-kira mau dan mampu bekerja sama dalam sebuah tim kepanitiaan. Beberapa saya “paksa” untuk masuk dalam tim panitia, sebagian yang lain saya bebaskan untuk memilih masuk atau tidak dalam kepanitiaan. Sampai di sini, terkumpul 11 orang yang siap: Cak Heru, Pak Agus Heri, Daeng Rusdy, Bunda Titi, Bunda Nazlah, Bunda Mabruroh, Bunda Tita, Mbak Nia, Mbak Riendra, Anggia, dan saya, Sakifah. Alhamdulillah, meskipun sampai beberapa lama tergabung dalam grup WhatsApp untuk membahas konsep pelaksanaan kegiatan, tidak terpikir untuk membuat susunan kepanitiaan.

    Jangankan membuat susunan panitia, berunding soal tempat pun sempat bingung mau di mana dan berapa tarifnya. Sampai akhirnya kami dapat Amalia Residence (begitulah nama yang tertera di aplikasi booking.com), dan book via online. Namun ketika disurvey, kami dapat harga lebih murah jika pesan secara offline. Jadilah kami batalkan pesanan online dan pindah ke pemesanan via telepon. Saya baru tahu ketika sampai, nama penginapan ini Amalia Guest House, bukan residence. Hehehe, maafkan kami, Mbah Win, karena dengannya sudah membuat tersesat.


    Kami menghitung kebutuhan dana, menyesuaikan dengan konsep acara yang mungkin dilaksanakan, berbagi tugas, sampai memprediksi jumlah peserta dan memperkirakan tempat yang pas sesuai budget agar tidak ada pihak yang keberatan, semua bisa nyaman. Jujur, sampai di sini, tim panitia tidak punya modal dan tidak tahu dari mana sumber dana untuk kegiatan ini nanti. Bahkan ketika menghitung kebutuhan kamar, termasuk biaya sewa penginapan, dengan iuran sebesar 150k/peserta itu sudah sangat press untuk kebutuhan pokok peserta. Untuk kebutuhan sisanya, kami bergantung kepada Yang Mahakaya.

    Bagaimana nanti konsumsi peserta, souvenir, bahkan doorprize, sama sekali tidak termasuk dalam agenda anggaran. Jika dikalkulasi sementara, kebutuhan biaya untuk penginapan saja sekitar 3 juta. Belum untuk makan, camilan, minum, apa iya peserta diminta bawa bekal masing-masing?

    Sampai sekitar 10 hari sebelum pelaksanaan, panitia baru kepikiran untuk mencari sponsor. Cak Heru berinisiatif untuk mengajukan proposal ke Embrio Publisher. Tentu saja kami tidak bisa menggunakan judul kegiatan “Kopdar” untuk mengajukan proposal. Kata orang marketing “kurang menjual”. Maka dengan waktu sesingkat-singkatnya, kami menyusun judul, tema, susunan panitia, sampai acara agar dapat disebut sebagai kegiatan literasi yang perlu dan layak mendapat dukungan sponsorship. Jadilah satu bendel proposal lengkap dengan surat pengantar.

    Allah Mahabaik. Kemudahan demi kemudahan kemudian menjelma jadi keajaiban selama pelaksanaan Munas ini. Donatur berdatangan, makanan melimpah, tempat yang tadinya sempat dikhawatirkan kurang, akhirnya tetap cukup meski mungkin agak “overload”. Soal ini, mohon maafkan panitia karena tidak ada lagi kamar yang bisa dipesan untuk malam itu.

    Keajaiban lain yang seolah tak kasat mata, adalah betapa mudahnya kita saling mengenal dan berakrab ria sementara sebelumnya belum sekali pun pernah bersua. Begitu melihat Bunda Titi masuk lobi, beliau berseru, “Kak Saki, ya?” Masya Allah… wajah saya mungkin sudah pasaran di lingkungan ODOP, ya? Begitu juga ketika pertama melihat seorang lelaki setengah baya turun dari ojek online, senja itu. Saya yang siap mengantar Bunda Nazlah ke rumahnya ambil karpet naik motor (pinjaman), langsung tahu bahwa itu Mbah Win yang baru datang (setelah drama nyasar ke Arjosari), dari suara dan caranya tertawa. Tapi kami harusbergegas, jadi maafkan jika tak langsung menyapa, Mbah.


    Rasa percaya juga menguar begitu saja, ketika akan mengurus kebutuhan acara, sementara tidak ada saku yang menempel di baju, dan tidak ada tas kecil yang menyelempang di pundak, tanpa pikir panjang saat melihat Daeng Rusdy saya berseru, “Nitip hape, ya. Mau keluar, nih?” yang dititipi juga nggak banyak tanya, terima saja. Begitu juga ketika tas selempang bermotif rencong warna biru dongker milik saya lenyap dari pandangan. Antara hilang ketika di kamar dan saya tinggal mandi, atau lupa taruh, entahlah. Hati sempat khawatir ia tak kembali. Isinya memang tak seberapa, hanya satu kartu ATM dan beberapa lembar rupiah buat ongkos pulang. Satu hal yang sangat sayang jika ia benar-benar hilang, itu tas oleh-oleh dari adik ketika ke Aceh tahun lalu. Hehe…

    Setelah dicari di kamar, lorong, sampai kamar-kamar lain dan tidak ketemu, saya berusaha ikhlas. Kalau belum rejeki, mau apa? Toh segala sesuatu tak pernah benar-benar kita miliki, kan? Eh, dia muncul saat seluruh acara selesai, barang-barang diringkas, dan karpet-karpet dilipat, tetap utuh beserta isinya, sembunyi di balik karpet. Alhamdulillah…

    Rasanya tidak cukup ribuan terima kasih untuk mengungkapkan rasa syukur atas kinerja tim panitia. Ketulusan, keikhlasan, kerelaan bekerja sama, dan senyum yang membahagiakan untuk bersama menjadi “tuan rumah” Munas ODOP 2019 ini. Saya juga masih terkagum-kagum dengan sosok-sosok yang baru pertama ketemu, Daeng Rusdy, benar-benar pendiamnya? Tidak banyak bicara, tapi tetap ramah meskipun saya tidak tahu harus membahas apa agar bisa berbincang lama. Bu Ika dan Ezza, peserta dengan perjalanan terjauh yang harusditempuh, berhasil membuat saya ingin berkunjung ke Lampung suatu hari nanti, terima kasih untuk kisah sekaligus nasehatnya yang berharga.

    Pebri Ika, salah satu pembaca Langit Doa, meski baru pertama berjumpa, rasanya masih kurang waktu buat curhat malam itu, (ups!). Kisah Langit Doa memang belum usai, begitu juga dengan “curhatan” kita, #eh. Kapan-kapan lanjut lagi lah ya, insya Allah. Bu Yeti, kita belum banyak ngobrol, tapi saya kagum, jauh-jauh dari Cirebon diantar suami, romantis sekali. Semoga nggak kapok ketemu saya, ya.

    Peserta yang lain, alhamdulillah sudah pernah bertemu sebelumnya, jadi tidak terlalu asing dan lebih mudah “ngerjain” minta tolong ini itu. Meskipun saya sempat sedih ketika Pakde Wali ekspresinya seolah tidak kenal saya saat pertama bertemu di Malang kemarin. Tapi saya bahagia, Kazumi langsung nempel begitu melihat saya, bahkan mau disuapi dan makan malam bareng meskipun saya belum bertemu bundanya. Begitu juga Valya, seolah sudah kenal lama sekali, sehingga mau saya pangku dan tidak keberatan keluar tanpa mamanya, karena pengin jajan susu coklat. Sesi sharing bersama Cak Heru, Bang Septian, dan Umar Affiq menjadi suntikan semangat untuk terus berkarya. Terimakasih, sensei.


    Pada akhirnya, Munas ODOP 2019 ini bukan hanya untuk ODOP-ers yang hadir. Tapi juga untuk semua ODOP-ers di manapun berada. Karena pembahasan Munas, bukan hanya untuk hadirin, tapi beberapa poin penting, di antaranya grup KBO, perlu grup khusus untuk diskusi serius. Kedua, soal oprec batch 7, apakah hanya akan menerima pemula atau mereka yang pro, masih dalam pembahasan yang lebih serius oleh pengurus. Ketiga, sepertinya kita perlu memikirkan pemberdayaan ekonomi yang mungkin untuk sebuah komunitas literasi. Karena kita tidak bisa selamanya bergantung pada para donatur. Kira-kira, apa yang bisa dilakukan untuk menjadi sumber keuangan ODOP selain program FOTO?

    Munas ODOP 2019, berhasil mempertemukan, menguatkan semangat, dan menyisakan beberapa pekerjaan besar. Sesuai pesan Uncle Ik dan Amma Na, Munas ODOP berikutnya, kita harus punya karya baru dan launching bersama. Mari semangat menulis!

    Sakifah pengurus ODOP, penanggung jawab Munas 2019