Kerinduan Terakhir
Senin, 01 Juli 2019
Oleh: Winarto Sabdo
Dengan berlarian, Yatijo mengikuti laju dokar yang ditumpangi oleh Arimbi. Dokar itu akan membawa Arimbi dan beberapa penumpang lainnya menuju pasar kecamatan, sebelum mereka berganti angkutan menuju terminal di kota kabupaten. Dengan memegangi besi sandaran penumpang, Yatijo mencoba mengajak gadis itu bercakap-cakap.
"Nanti setelah sampai di Surabaya, jangan lupa mengirimkan surat ya, Mbi?"
"Iya Kang Ijo, pasti akan segera aku kirimkan kabar sesampaiku di sana," jawab gadis berambut panjang sepantat itu lembut, dia menatap wajah kekasihnya itu dengan pandangan yang tak terungkapkan.
Arimbi adalah seorang gadis yatim piatu. Dia hanya tinggal dengan neneknya semenjak kecil. Sejak ayah dan ibunya meninggal dunia karena tersambar petir di sawah. Ketika itu usianya sekitar 10 tahun, dan saat usianya 12 tahun, neneknya pun menyusul kedua orangtuanya.
Tinggal sebatang kara membuatnya menjadi pribadi yang tangguh, pemberani, dan memiliki jiwa yang keras. Dia sangat terbiasa mengerjakan pekerjaan orang dewasa sejak kecil, ke sawah, berkebun, mencari kayu bakar di hutan, bahkan menjual hasil bumi sendirian.
Bukannya tidak sekalipun merasakan lelah menjalani hidup seperti itu, tapi dia memiliki penyemangat hidup yang amat dibutuhkannya. Yatijo, anak tunggal tetangganya yang selalu ada untuknya. Yang selalu mendengar keluh kesahnya, yang menyemangatinya saat jiwanya mulai merapuh. Yang menggantikan pekerjaannya saat dia sakit, bahkan dia sudah menjadi sebagian dari jiwanya yang hilang.
Hingga ketika Yatijo mengutarakan cinta kepadanya, dia tidak sanggup menolaknya. Pemuda itu telah menanam terlalu banyak kebaikan dalam hidupnya, selain memang Arimbi pun mengagumi pribadi pemuda itu. Walaupun, secara fisik Yatijo berwajah buruk dan sebelah kakinya pincang. Arimbi terlampau sayang padanya, perasaan aman dan nyaman selalu ada saat di dekatnya.
Meski dengan kondisi fisik yang seperti itu, Yatijo pernah menghajar dua orang jahat yang mencoba memperkosa Arimbi di tengah ladang. Walaupun harus ditukar dengan cedera yang cukup parah, Yatijo terkena sabetan pisau dari orang jahat itu di tangan kirinya. Ototnya putus, dan membuat tangannya cacat seumur hidupnya.
"Ingatlah selalu pada desa kita, Mbi. Ingatlah jalan menuju desa kita ini, suatu saat jika kamu merindukannya... pulanglah, Mbi," pesan Yatijo lagi kepada orang yang sangat dicintainya itu, sementara laju dokar itu semakin cepat. Yatijo sudah tidak kuat mengejarnya. Kakinya yang pincang tak lagi kuasa menyangga kenekatannya, terengah-engah dan sangat kelelahan.
"Ingat aku ya, Mbi!" teriaknya, sebelum dia menyerah, dan berhenti di pinggir jalan.
"Aku akan mengingat pesanmu, Kang! Aku akan selalu merindukan desa ini! Aku akan merindukanmu, Kang Yatijo!" Arimbi meneriakkan kata-kata terakhir pada Yatijo, sebelum dokar itu berbelok di tikungan tepi hutan. Hilang dari pandangan.
"Kamu pacaran dengan Yatijo, Mbi?" tanya Narni yang duduk di sampingnya, gadis itu yang mengajak Arimbi kerja di kota. Arimbi menunduk tersipu malu, sehingga dia tidak melihat wajah Narni yang sedang mencibirnya.
Dokar pun semakin laju, perlahan-lahan meninggalkan desa indah di kawasan hutan itu. Menuju tempat baru, harapan baru, mimpi baru, kehidupan baru.
***
Sudah sepuluh tahun lamanya sejak kejadian siang itu, tak sehari pun Arimbi pernah pulang ke desanya. Kota telah menyekapnya dengan kenyamanan, Memanjakannya dengan kenikmatan. Alkohol dan narkotika menjadi tempat pelariannya, dari kehidupan munafik yang sedang dijalaninya.
Narni sahabat masa kecilnya mengajaknya bekerja ke kota, menyembulkan rayuan-rayuan indah tentang kebaikan kota. Uang yang mudah didapatkan, serta berbagai kenikmatan yang selalu tersedia. Ternyata Narni telah menjualnya ke komplek lokalisasi, keperawananya terjual kepada seorang anggota dewan. Entah berapa hasil penjualannya, karena hasil dari pekerjaannya dipegang sang Mami wisma. Ketika Narni mati tertabrak mobil, Arimbi merasa 'dendam kesumatnya' telah terbalaskan.
Bertahun kemudian, Arimbi telah berubah. Kecantikkannya yang memesona, menobatkannya sebagai 'primadona' di lembah hitam. Dengan tarif yang fantastis, sekali kencan sudah bisa untuk membeli sebidang sawah yang luas di desa. Dan bahkan, bertahun-tahun dia menjadi 'istri simpanan' seorang pejabat tajir. Itu salah satu hal, yang membuatnya lambat laun mulai melupakan tanah kelahirannya. Melupakan makam kedua orangtua dan neneknya, bahkan dia tidak lagi ingat akan janjinya pada Yatijo kekasihnya.
***
Sementara itu, hari-hari bagi Yatijo adalah penantian. Waktu demi waktu yang terlewati, adalah kesetiaan yang tidak pernah mati. Bayang wajah Arimbi selalu menghiasi harapan dan mimpinya, dengan satu keyakinan tulus akan sebuah pertemuan yang didambakannya.
Orang sedesa sudah menganggap Yatijo gila, karena nilai kesetiaanya dianggap telah melebihi batas kewajaran. Dia menjual lima ekor sapinya, untuk membangun rumah Arimbi yang roboh terkena puting beliung. Dia menjual semua kambingnya, hanya untuk memasangkan listrik di rumah Arimbi. Karena dia yakin, suatu saat Arimbi pasti pulang.
Yatijo kini tampak semakin mengurus, bagaimana pun sakit rindu teramat berat untuknya. Rambutnya mulai beruban, kumis dan jenggotnya pun tumbuh tidak terawat. Dulu, Arimbi yang memprotesnya jika kumisnya mulai memanjang tak teratur. Sekarang tidak pernah lagi ada yang menegurnya, apalagi hanya untuk urusan mencukur kumis.
Setiap bakda Asar, dia duduk-duduk di sebuah pos kecil milik perhutani di dekat jalan aspal. Dia berharap suatu saat ada minibus berhenti di tempat itu, dan menurunkan Arimbi yang dirindukannya. Namun sudah ribuan minibus yang dia lihat di sana, tak juga satu pun yang mengantarkan Arimbi pulang. Ketika azan Magrib berkumandang dia pun beranjak, menyalakan lampu neon di teras rumah Arimbi lalu pulang. Bertahun-tahun dia lakukan itu dengan setia, hingga semua orang menyebutnya gila.
Bukannya dia tidak memahami gelar untuknya itu, tetapi dalam hati dia selalu mengiyakannya, senantiasa membenarkannya.
"Benar! Aku memang gila, gila karena cintaku pada Arimbi."
***
Arimbi yang didiagnosis mengidap HIV AIDS merasa sangat ketakutan. Dia merasa nyawanya sudah tidak akan lama lagi. Sepanjang hari hanya tangis dan sedu sedan yang dilakukannya. Dia menyumpahi kehidupannya selama ini. Dia tidak ingin dikalahkan oleh HIV, sungguh itu sangat memalukan baginya. Mungkin nanti semua surat kabar dan media elektronik akan memberitakannya, seorang primadona mati karena HIV. Itu tidak seperti pemberitaan, seorang primadona ditemukan tewas gantung diri.
"Naudzubillahi min dzaliik!" teriaknya dalam ketakutan, tangisnya pecah dengan tiada tertahan lagi. "Maafkan aku, Ayah, Ibu! Dan para leluhur semuanya... karena telah menempuh perjalanan sesat ini!"
Ketika jatuh terduduk di lantai, tanpa sengaja dia melihat sebuah baju usang di lantai dekat sofa di kamarnya. Baju lamanya, yang sudah dihadiahkan kepada asisten rumah tangganya bertahun lalu. Dan mungkin, sekarang sudah dijadikan lap pembersih debu oleh asistennya itu.
Seketika Arimbi menjerit ketika memungut baju usang itu, sebuah kenangan masa lalu melintas dalam ingatannya. Itu baju pemberian Yatijo, ketika dia pamit ingin pergi bekerja ke kota padanya.
"Kang Yatijooo!!!" teriaknya, sebelum akhirnya jatuh pingsan oleh beban yang teramat dahsyatnya. Dua orang asisten rumah tangganya segera membopong tubuh majikannya ke atas kasur, menungguinya dengan ketakutan dan gemetaran.
***
Yatijo melihat sebuah mobil merah memasuki jalan menuju desanya, tetapi dia tidak menghiraukan. Mungkin itu mobil kenalan Pak Kepala Desa, yang datang menemuinya. Tetapi tiba-tiba mobil itu berhenti tepat di tikungan, tempat di mana terakhir kali dia melihat kekasihnya itu pergi.
Seorang wanita turun dengan tergesa, melepaskan sepatu hak tingginya. Dan berlari dengan kesakitan ke arahnya, batu-batu makadam itu mungkin telah melukai kakinya.
"Kang Yatijoooo!" teriak wanita yang tidak dikenalinya itu. Yatijo samar-samar mengingat suara indah itu, tetapi bukan milik wanita ini. Yatijo terlambat menghindar ketika wanita itu menubruk tubuhnya, dan aroma wangi tubuh wanita itu telah menyiksa penciumannya.
"Kang Yatijo! Ini aku Arimbi, Kang!" Wanita itu berteriak histeris, sambil memeluk tubuh lelaki kurus yang tidak lagi mengenalinya itu. Meraung-raung Arimbi dalam pelukan lelaki baik yang mencintainya itu, tetapi dia malah melupakan jasa dan kebaikannya.
Arimbi terus memanggil nama Yatijo, pelukannya semakin erat, tangisnya semakin keras. Orang segera berdatangan ke tempat itu, menyaksikan pemandangan yang sangat aneh. Seorang wanita cantik dan kaya-raya, sedang menangis dan memeluk tubuh Yatijo si orang gila.
"Siapakan Anda ini, Nyonya? Kenapa memelukku dan menangis?" tanya Yatijob terbata, dadanya tiba-tiba merasakan sakit yang kuar biasa.
"Aku Arimbi, Kang! Aku kekasihmu, Kang!" Arimbi mulai melepaskan pelukannya, memberi pandangan yang luas pada Yatijo unyuk mengenalinya. Dia menghapus make up-nya dengan ujung gaunnya yang mahal, dan mengacak-acak dandanan rambut panjangnya.
"Arimbi!" sebut beberapa orang yang sudah mulai mengenalinya.
Yatijo mendengar beberapa orang memanggil nama kekasihnya itu, tetapi pandangannya mulai kabur. Sakit di dadanya semakin tak tertahan lagi, dan jerit Arimbi mengiringi tumbangnya tubuh lelaki jurus itu ke tanah.
Arimbi segera memeluk kepala Yatijo dalam pelukannya, air matanya menetes membasahi wajah pucat pasi kekasihnya itu.
"Kang Yatijo, kamu kenapa, Kang? Ucapkan sesuatu padaku, Kang!"
Dengan sangat berat Yatijo membuka matanya, meskipun tidak lagi dapat menyaksikan wajah kekasihnya. Tapi kini dia sudah yakin, suara yang sangat dikenalnya itu adalah suara Arimbi calon istrinya.
"Kau... Ar...rimbi?" terbata dan berat terdengar suara Yatijo bertanya.
"Iya, Kang. Aku Arimbi, aku pulang menemuimu. Aku menunaikan janjiku padamu, Kang. Aku ingin menikah denganmu!"
Yatijo tersenyum dengan bibir pucatnya, pendengarannya mulai menghilang. Pandangannya sudah tidak berguna lagi, dengan kekuatan terkhir dia berkata.
"Aku... se... tia... pa... damu, Ar... rim... biii...." dan putuslah nyawa lelaki itu dalam pelukan orang yang sangat dirindukannya, penyakit jantungnya kambuh saat-saat terakhir dia dapat melihat lagi wajah sang kekasih. Dia meninggal dengan senyum bahagia di bibirnya yang pucat.
***
Winarto Sabdo, anggota ODOP batch 6.
0 apresiasi