Oleh: Nindyah Widyastuti
Pewarna rasa itu bernama cinta. Dengan cinta, kita bisa merasakan beraneka warna rasa bagaikan pelangi. Karena cinta, kita bisa sedih, bahagia, kecewa, puas, dan juga merana. Seperti pelangi. Warna-warninya membuat hidup kita semakin bergairah, meski kadang-kadang ada juga yang berkelanjutan dalam pilu sehingga menyiksa dan merugikan diri sendiri. Walaupun begitu, cinta tetap dicari dan ditunggu. Tanpanya, hidup akan terasa hambar, bagai sayur lodeh kurang garam.
Bicara tentang cinta, tak ada kata akhir, tak ada kata bosan. Selalu menarik, dan ingin terus diulang dan diulang. Kata cinta sudah seperti garam dalam masakan. Semewah apapun masakan, tak kan terasa lezat tanpa kehadiran sang garam. Begitu pun cinta dalam perjalanan hidup kita. Ia menjadi pewarna dalam rasa hati kita. Bila takarannya pas, hidup pun makin bergairah dan penuh pesona. Namun jika kurang atau tidak sesuai selera, hidup bisa runyam. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, menangis pun tak nyaman. Serba salah.
Namun berbahagialah mereka yang mampu meramu pewarna rasa ini menjadi menu yang sedap dan lezat. Kehadirannya memang perlu dan utama. Namun bila ia dapat dikendalikan dan dikondisikan, keindahan saja yang kan tersaji. Karena hakikat cinta adalah membahagiakan, bukan memiliki apalagi menguasai.
“Cinta adalah memberi tanpa berharap kembali. Berbagi tanpa khawatir tersaingi. Mengerti tanpa syarat yang harus dibeli. Memahami tanpa harus banyak berjanji. Melindungi tanpa takut melukai. Menerima tanpa ada rasa kecewa. Melepaskan bukan berarti kehilangan harapan, tapi percaya ketetapan Tuhan adalah yang terbaik bagi setiap insan.” (hal. 20)
Karena,
“Romantika hidup tidak untuk diresapi dengan satu rasa belaka, bukan?” (hal. 110)
Begitu pun hidup kita, bukan?Seandainya kita hanya punya rasa senang saja seumur hidup, akankah indah?Banyak rasa, beraneka rasa yang silih berganti menyapa kita, justru menjadikan hidup ini lebih berwarna, lebih bergairah. Itulah peran yang sedang dimainkan cinta.
Terkadang, kita kehilangan cinta, kehilangan yang kita cintai, kehilangan yang mencintai kita. Namun,
“Kehilangan adalah bagian dari perjalanan. Tapi percayalah selama kita mau terus saling mengingatkan, semua yang terjadi justru membentuk kita menjadi sosok yang lebih baik lagi” (hal. 111)
“Hidup tidak melulu tentang kebahagiaan. Terkadang cerita cinta dan pertemuan banyak membawa pelajaran berharga dari sebuah rasa sakit. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.
Begitu pula dengan hati. Jika kita percaya dengan Dzat yang Maha Membolak-balikkan isi hati dan berpegang teguh dengan apa yang telah direncanakan oleh Tuhan, tidak lain yang kita dapatkan selain kebahagiaan. Ikhlas adalah kunci kebahagiaan dan ketenangan hati.” (hal. 53)
Betul sekali, kan? Hidup itu harus penuh warna, harus berganti-ganti rasa, tidak selalu yang indah-indah. Karena yang tidak indah, yang tidak mengenakkan, yang tidak menyenangkan, justru itu yang akan menguatkan dan mengokohkan kaki kita.
Dan, bila yang menciptakan cinta berkenan mempertemukan kita dengan yang kita cinta, yang sulit terasa mudah, yang berat terasa ringan, yang jauh terasa dekat, yang mustahil menjadi niscaya. Semangat semakin menggelora dengan cinta di dada. Seperti yang dirasa oleh Ken Arok dalam “Kidung Cinta Ken Arok”. Salah satu cerita cinta yang melegenda di bumi Indonesia ini tersaji dalam bentuk fiksi yang sangat bagus.
“Tetapi kini, di bawah kekuasaanku bersama Ken Dedes, Tumapel tumbuh menjadi negeri besar. Ken Dedes pula yang memberiku banyak inspirasi dengan curahan cinta dan perhatiannya ketika aku menyerbu Kadiri. Menaklukkan Dhandhang Gendis.” (hal. 80)
Namun, jangan sampai cinta menggelapkan mata kita sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, seperti Ken Arok yang membunuh suami Ken Dedes karena ingin mempersuntingnya. Biarlah cinta yang tumbuh, mekar dengan alami tanpa pestisida. Kesuciannya mengeluarkan aroma wangi dengan radiasi kebaikan yang menyebar tidak hanya kepada yang dicinta, tapi kepada semua insan.
Judul : Love Pasta
Penulis : Sakifah, Denik, dkk
Penerbit : Gong Publishing
Cetakan : Pertama, 2017
ISBN : 978-602-6663-09-2
Tebal buku : 233 hlm; 14x20 cm
Nindyah Widyastuti anggota ODOP Batch 1 tinggal di Bekasi
0 apresiasi