Oleh: N. A. Fadhli
Alegori Wayang dan Detik
Semisal detik
berputar disekeliling titik
berdetak pada tubuh usia
menyaksikan dan menyisakan
wayang-wayang fana
dunia hanya panggung opera
seumpama lakon; sebait naskah pendek
yang taat diperankan wayang
dan rapi ditulis oleh dua cahaya niskala
pada umpuk catatan paling detail
detik adalah ingatan tingkah wayang
patuh menunggu jemputan titik
kemudian avontur wayang berhenti
pada akhir naskah; satu noktah
detik hanya detak wayang
menanam butir pahala,
atau menjelma limbah dosa.
Bogor, September 2016
Menjahit Keabadian
/1/
Dari istana berlangitkan rotan, burung-burung mematuk setiap lantai kerikil.
Ulat bulu rajin mampir, menggerogoti dinding, lalu jatuh bersama puing.
Ayam-ayam tak bosan menyenandungkan instrumen paling kumandang, nyaringnya memisahkan jantung dari selembar tikar.
Mereka berangkat, melangkah dari pintu yang karat.
Mencari sekeping receh, sampai pulang telat.
Biar sekujur tubuh patah, asal terbeli sebatang pensil berasah, juga selembar kertas basah.
Mereka takut melukis angan;
bingkai yang sudah... bangkai.
Dan sejumlah pengusiran besar,
yang menggunting kain-kain mimpi, juga menimpa keluarga kami.
/2/
Dari kolam air mata nestapa, mereka campurkan berbutir peluh payah.
Bekas cucuran badan, yang dikuras terik siang.
Biarlah raga ini saja yang melukis angan.
Sebab kami menggenggam jarum harapan paling runcing,
yang dititip dari jemari-jemari asa mereka.
Agar tiba di ruang pertemuan.
/3/
Kami masih menyimpan bergulung benang pengetahuan,
yang jatuh dari bibir guru-guru kami.
Dibagikannya sehelai demi sehelai, biar tidak putus ditengah pasai.
Supaya dimusim menuai, tak habis bekal penyangga tungkai.
Dibantunya jemari kami menyulam,
supaya jahitan jangan beringsut, biar benang tidak kusut.
Kami adalah penjahit fana.
Pengumpul benang dan pelekat simpul pertemanan.
Kami hanya menjahit keabadian.
Asal tuan jangan memotong benang harapan, atau
menggunting simpul pertemanan,
yang kami kumpulkan dalam ruang pertemuan.
Kelas-kelas bermandikan ingatan.
Bogor, Desember 2016
Musim Pertemuan
Bertemu denganmu semisal jumpa musim paling semi.
Bunga-bunga merekah, kupu-kupu menari riang, membelah angin petang.
Taman hati hidup lagi, kuharap abadi.
Tungkai perlahan bangkit, bersama jejakmu yang diam-diam membekas di tanah kalbu.
Aku dihidupkan kembali
dari kematian lampau yang membunuhku dengan panah rindu.
Aku hanya musim gugur sejak kepergianmu.
Daun-daun patuh dan jatuh, menyusul setiap tetes air mata.
Tumpah, tanpa kau
duka.
Himpunan detik bergegas mengajak pergi, melupakanmu.
Sebab aku hanya potongan terkecil lembar-lembar kehilangan.
Dan musim dingin yang kau takutkan itu, tidak sedingin kebisuanku.
Terlanjur sunyi, lalu menjelma kesunyian lain
di tubuh waktu.
Mengingatmu semisal musim semi paling layu
bunga-bunga menidurkan kelopaknya, kupu-kupu hilang, memilih pulang.
Taman hati gersang tanpa jejakmu
keabadian adalah harga semu, yang kautawarkan
pada musim pertemuan.
Bogor, Agustus 2017
0 apresiasi